Lihat ke Halaman Asli

Harish Ishlah

Seorang Pemula yang masih menjelajah

Ngopi: Sebuah Dialektika Berselimut Rasa

Diperbarui: 22 Maret 2021   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

" Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi "

(Joko Pinurbo)

Sebelum mulai membahas tentang budaya nongkrong di warung kopi, izinkan penulis untuk menjelaskan tentang bagaimana awal mula manusia mengelola biji kopi yang kemudian dikonsumi menjadi sebuah minuman. Siapa sangka bahwa kopi pertama kali ditemukan oleh bangsa Etiopia di Benua Afrika sekitar 3000 tahun (1000 SM) yang lalu. Menurut para sejarawan, mula -- mula pengembala kambing secara tidak sengaja memperhatikan kambingnya yang setiap hari memakan biji kopi.

Setelah memakan biji -- biji kopi tersebut, kambing menjadi semakin aktif dan bersemangat. Lalu para pengembala tersebut berandai - andai, bagaimana jika manusia yang mengkonsumsi biji kopi?

Namun siapa tahu dibalik semua itu kopi mengandung sejuta manfaat dan khasiat bagi tubuh manusia, contohnya kopi sering membantu kita tetap terjaga ketika kita mengharuskan diri untuk mengerjakan tugas hingga tengah malam maka solusi untuk tetap menjaga mata kita tetap terbuka adalah meminum kopi dengan kafein sesuai selera.

Sejumlah penelitian juga mengungkapkan bahwa kopi juga merupakan salah satu sumber antioksidan yang baik untuk dihirup dan di setarakan dengan tiga buah jeruk, kopi juga mampu menghilangkan stress karena mengandung zat serotonin yang membantu tubuh manusia untuk menghilangkan efek depresi.
 
Tetapi hal yang paling intim untuk kita bahas adalah fenomena Warung Kopi yang merubah sudut pandang masyarakat di Indonesia, awalnya budaya nongkrong atau dalam Bahasa Jawa biasa disebut "Nyangkruk" biasanya berdampak negatif di mata masyarakat awam. Nongkrong di warung kopi, beberapa dekade lalu biasanya hanya berupa minum kopi, main kartu, berjudi, merokok, membeli jajanan seperti gorengan, dan hal -- hal yang bersifat mudharat lainnya.

Masyarakat terlanjur mempunyai stigma negatif terhadap warung kopi dan ajakan ngopi yang identik dengan hal-hal merugikan seperti yang penulis sebutkan diatas, terlebih lagi ngopi biasanya hanya dilakukan oleh kalangan masyarakat pinggiran, pedesaan, dan kalangan pekerja saja yang rata -- rata usianya 30 hingga 50 tahun atau lebih. Ngopi hanya dilakukan oleh orang dewasa dan remaja juga pada saat itu agaknya menghindari ngopi karena hal-hal negatif tersebut serta larangan dari orangtua mereka yang sudah menstigma ngopi sebagai kegiatan yang negatif.

Di Kabupaten Gresik, ngopi justru dijadikan sebagai budaya yang positif karena ada sebuah cerita bahwa dari budaya bertukar pikiran dalam ngopi di Gresik ini menghasilkan sebuah gerakan akar rumput yang memiliki cukup kekuatan untuk mengkritisi Kebijakan Pemerintah Kabupaten, gerakan ini dinamakan " Gresik Sumpek " yang terlahir dari sebuah perbincangan di warung kopi dan akhirnya bisa mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah daerah serta mendapatkan kepercayaan yang lebih dari masyarakat karena dianggap mampu menampung aspirasi sekaligus menyampaikan aspirasi tersebut kepada yang bersangkutan.

Tidak hanya di Gresik saja, namun sekarang ngopi dengan diwarnai diskusi sudah banyak ditemui di hampir seluruh daerah terutama daerah dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Manusia dengan naluri intelektualnya pasti mempunyai kebutuhan berdiskusi untuk mengasah ilmu yang didapatkannya serta bertukar pikiran untuk bisa menjadikan diri sebagai manusia yang terbuka cara berpikirnya, namun bagaimana cara untuk merubah mindset manusia untuk bisa lebih terbuka dalam berilmu? Salah satunya adalah dengan berdiskusi.

Dengan berdiskusi, manusia bisa menerima berbagai macam pemikiran yang dilemparkan oleh lawan bicaranya sehingga dapat menyerap berbagai ilmu - ilmu baru yang didapatkan dari lawan diskusinya. Dengan ngopi, karakter bermajelis itu muncul dalam diri seorang intelektualisme dibantu dengan konsumsi kopi yang diminum sedikit demi sedikit sambil bersenda gurau dan berdialektika tentunya akan mendorong diskusi menjadi jauh lebih berwarna.

Selain berdiskusi, warung kopi juga bisa menjadi sarana mencari advice atau nasihat yang strategis karena disana kita bertemu banyak orang yang berbeda dengan usia dan pengalaman yang berbeda pula yang menjadikan warung kopi juga berfungsi sebagai tempat tradisi bertutur dan saling menasihati. Dalam suatu forum formal, beberapa ilmu ber-retorika yang kita pelajari dari diskusi di warung kopi bisa kita terapkan bahkan orang tidak akan mengira bahwa kita belajar ber-retorika sumbernya adalah dari grass-root yaitu dari dialektika di warung kopi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline