Lihat ke Halaman Asli

Moh Ichsean Maulana

HR Practitioner at Local Start Up Company

Menakar Keberpihakan Penegakan Hukum pada Tragedi Kanjuruhan

Diperbarui: 1 Desember 2022   16:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini Jumat, 26 November 2022 bertepatan dengan 55 hari sejak tragedi berdarah pecah di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, pada 1 Oktober lalu. Pengusutan perkara  masih jauh dari kata tuntas. Baru ada enam tersangka yang ditetapkan penyidik Polda Jawa Timur. Berkas perkaranya pun belum lengkap. Jangan sampai 135 nyawa yang menjadi korban bobroknya sistem tersebut sekadar menjadi angka belaka.

Sejatinya kejadian memilukan ini bukan duka milik Aremania atau duka pencinta sepak bola semata, namun mestilah pula milik seluruh bangsa Indonesia yang sama-sama merindukan idealnya penegakkan hukum di Indonesia.

Kenapa tidak, tragedi tersebut mutlak disebabkan oleh faktor bobroknya sistem yang kebetulan didukung dengan ketidakbecusan asosiasi (baca: PSSI), panitia pelaksana, dan diperparah dengan arogansi aparat yang secara menjijikkan melakukan penanganan konflik dengan brutal di lapangan.

Suporter BUKAN Penyebab Utama!

Penulis terpaksa mesti menekankan pada bagian ini dikarenakan banyak opini di luar bersileweran menyatakan bahwa suporter -dalam hal ini Aremania- lah yang berperan menjadi faktor utama penyebab tragedi ini terjadi. Bagi penulis, orang-orang yang memiliki opini seperti itu adalah mereka yang sebenernya tidak pernah mengikuti bahkan tidak paham soal dinamika persepakbolaan di Indonesia. 

Mereka beropini jelek hanya demi menumpangi ombak yang sedang viral -riding the wave- atau -mohon maaf- emang murni otaknya saja yang bermasalah alias konslet sebab tidak mau mencari tahu akar masalah yang sebenarnya dimana.

Berpuluh-puluh tahun sepak bola kita dikelola secara "amatir". Bisa kita lihat, PSSI sebagai asosiasi atau organisasi resmi di bawah FIFA yang mengurusi sepak bola di Indonesia dari masa ke masa selalu saja dijalankan oleh hanya segelintir kelompok yang itu-itu saja. 

Ketua Umum maupun Anggota Komite Eksekutif (Exco PSSI) selalu diisi oleh orang-orang politik yang bahkan tidak memiliki rekam jejak dan prestasi di dunia persepakbolaan. Jika bukan politikus maka jabatan strategis tersebut selalu saja diduduki oleh purnawirawan Polri ataupun TNI.

Tingkah laku suporter yang terlihat buruk itu ibarat puncak gunung es yang menyimpan lebih banyak bahaya di bawahnya. Penyebab di dalamnya ada banyak sekali. Ini yang sebenarnya gagal dipahami oleh masyarakat umum yang sama sekali tidak pernah mengikuti dinamika sepak bola lokal kita. 

Maka dalam tulisan sederhana ini penulis mencoba secara objektif dan berimbang menganalisa apa saja faktor-faktor atau sistem yang berperan tersebut.

Diantara yang paling berperan adalah gagal totalnya aparat dalam pengamanan suporter dengan manajemen konflik yang baik. Tidak terelakkan fakta bahwa tren kekerasan yang dilakukan oleh aparat di Indonesia termasuk ke salah satu yang terburuk di dunia. Data yang dikumpulkan oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkap temuan 677 kekerasan oleh aparat Kepolisian sepanjang Juli 2021-Juni 2022.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline