Lihat ke Halaman Asli

Sean Annas

Pengangguran

Terowongan

Diperbarui: 29 Mei 2022   17:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Haruskah aku takut kepada gumpalan tanah yang menyelimuti tubuhku ini?
Aku harap mereka tidak murka kepadaku karena aku akan terus menggali.
Bukan, ini bukanlah sebuah renungan tentang kematian.
Hanya hembus angin yang terkadang aku rindukan.
Sesekali, keluhan dari sisa napasku sebagai satu-satunya yang kini bisa aku dengar.
Rasanya sudah ratusan tahun bagiku mengendap di bawah sini bersama kegelapan.

Bagaimana aku bisa begitu tenang?
Padahal, aku tak tahu kemana jalan panjang ini akan berakhir.
Mungkinkah di ujung sana ada kegaduhan dari mereka yang memperjuangkan kalimat-kalimat yang sama?                         Kebencianku kepada mereka adalah alasanku ada di sini.                        Sayangnya, perjuangan ini tidak akan tertulis dalam sejarah.
Akankah ada penyesalan, atau ada harapan?

Bolehkah aku menyerah dan berbalik?
Percuma saja, tidak akan ada langit biru lagi untukku.
Kesepian telah membunuhku berminggu-minggu yang lalu.
Namun, kini itu bukan apa-apa.
Sebab jeritan orang-orang yang sekarat di atasku telah menjadi semacam candu.
Yang juga akan menjadi mimpi buruk abadi selama sisa hidupku.

Bagaimana rasanya mati terkubur sendirian?
Siapa peduli, Aku akan terus merangkak menuju titik yang sudah ditentukan.
Sambil aku rangkul jasadku yang sudah lama membusuk.
Kemudian, aku akan menyambut para bajingan yang terkutuk.
Tugasku adalah mengirim mereka ke neraka.
Bersama diriku, tentu saja.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline