Lihat ke Halaman Asli

Puan Maharani dan Nasib Revolusi Mental Jokowi

Diperbarui: 23 Oktober 2016   01:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jokowi-JK resmi dua tahun memegang kekuasaan di negara ini setelah menang tipis atas pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Menurut pendapat saya, selama dua tahun ini, Jokowi-JK sudah berbuat banyak bagi bangsa ini, mulai dari masalah penurunan dwelling time di pelabuhan, hukuman mati bagi gembong narkoba, penenggelaman kapal asing yang mencuri ikan sehingga menyelamatkan ribuan triliun rupiah dari sektor perikanan, pembangunan infratruktur secara massif di seluruh nusantara, perbaikan sarana lintas batas, mencetuskan tax amnesty yang terbukti sukses, setidaknya pada tahap pertama, menengok rakyat di pulau terpencil, misalnya di pulau MIangas, dan terakhir meluncurkan gerakan untuk menghancurkan pungli, khususnya di instansi pemerintah yang memang terbukti menyusahkan rakyat kecil. 

Meskipun beberapa bahan kebutuhan pokok masih impor, dan menurut beberapa pengamat hukum, penegakan hukum belum maksimal, bagi saya, dua tahun Jokowi-JK sudah berbuat lebih banyak bagi rakyat daripada 10 tahun SBY yang terbukti menelorkan 5 album lagu yang terbukti tidak laku pula.

Sebenarnya, salah satu jualan utama Jokowi pada saat awal kampanye sebagai capres adalah revolusi mental. Tujuannya tentu saja ingin mengubah secara drastis mental masyarakat Indonesia, dalam arti yang negatif, ke arah mental yang positif. Mental kurang disiplin, mental suka telat, mental tidak suka bekerja keras, mental ingin hasil instant, dan mental negatif laiinya akan direvolusi menjadi mental yang tangguh, tahan banting, disiplin waktu dan kerja serta mental kerja kerja dan kerja. 

Mental SDM yang menyebabkan bangsa ini tertinggal dari negara lain ingin diubah menjadi mental SDM yang dapat menyaingi SDM negara lain. Mungkin itulah latar belakang dibentuknya nomenklatur Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dengan komandan Puan Maharani di Kabinet kerja. Melalui kementerian tersebut diharapkan terwujud pembangunan mental dan budaya manusia indonesia yang kuat melalui revolusi mental.

Tapi sayang, menteri yang satu ini nyaris tidak terdengar kabarnya, apalagi membuat gebrakan fenomenal dalam rangka mensukseskan gerakan revolusi mental. Yang ada malah berbagai pernyataan kontoversial yang dikeluarkan yang menuai cibiran masyarakat, seperti guyonan rakyat miskin harus puasa,  ketidaktahuan (atau tidak peduli ??) terhadap kasus perkosaan massal yang menghebohkan masyarakat Indonesia yang menimpa gadis remaja di Bengkulu. 

Puan hanya melaksanakan berbagai kegiatan seremonial seperti meresmikan atau membuka acara tertentu. Saya tidak tahu juga apa tugas menteri koordinator memang hanya yang bersifat seremonial saja. Memang sulit mengharapkan adanya kinerja dari seorang menteri yang dipilih bukan karena kapasitas atau kompetensinya, tetapi hanya untuk mengakomodir keinginan atau rasa tidak enak/sungkan terhadap Megawati. 

Sekedar usul kepada Puan,  mumpung masih ada waktu tiga tahun lagi, Puan segera membuat gebrakan dalam rangka mewujudkan revolusi mental Jokowi sehingga Jokowi ada alasan kuat untuk mempertahan Puan di kabinet. Misalnya mulai dari yang skala kecil dengan membuat gerakan yang menyasar perbaikan perilaku/attitude para siswa sekolah. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa mental, perilaku dan budaya kebanyakan  siswa sekolah sungguh memprihatinkan. Sudah jamak jika melihat siswa sekolah tidak bisa antri, suka menyerobot, tidak ada etika terhadap orang tua/guru, hobi tawuran, anak SD mulai pacaran, pemalas, suka membully dan berbagai kasus lainnya. 

Apabila kita membaca berbagai literatur dan mendengar cerita tentang sistem pendidikan di negara maju, maka akan terlihat perbedaannya dengan kita. Di Jepang misalnya, sejak dini para siswa sudah dilatih untuk melakukan kegiatan secara mandiri, dan pendidikan awal menekankan lebih pada bagaimana menanamkan perilaku positif siswa,seperti sikap disiplin.

Begitu juga yang ada di negara Eropa, seperti Inggris yang sangat mementingkan perilaku siswa pada pendidikan tingkat dasar dan mengajarkan bagaimana cara bersosialisasi yang baik dengan orang lain. Dengan pola tersebut, tidak heran muncul SDM dengan mental kuat di negara maju. 

Itu baru masalah di siswa sekolah, belum masalah mental, perilaku dan budaya mahasiswa dan masyarakat kebanyakan di Indonesia saat ini yang lebih kompleks lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline