Lihat ke Halaman Asli

Sahdat MS

Suka Ngopi

Merekonstruksi Pendengaran yang Imajinatif Nabi Nuh dalam Merespon Bencana

Diperbarui: 2 Juli 2024   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

olah pribadi

Mendengar adalah bagian yang tak terpisahkan dari realitas kehidupan sampai saat ini. Namun tidak sedikit dari pendengar mampu menerjemahkan apa yang didengarnya dengan baik. Oleh karena itu, konsep mendengar perlu direkonstruksi. Rekonstruksi yang saya maksud dalam hal ini adalah mendengar dengan menggunakan daya imajinasi. Kita perlu merekonstruksi pendengaran kita dengan mengembalikan indera pendengaran pada fungsi yang sebenarnya dan mengelolah apa yang kita dengar itu dalam imajinasi kita. 

Sehingga dari pendengaran, kita dapat membentuk sebuah pola yang mampu "merasa" dan "melihat" kenyataan yang ada di hadapan kita. Kemampuan inilah yang akan membuka cakrawala berpikir kita untuk mengambil sebuah tindakan atau keputusan yang baik dan yang benar dalam situasi tertentu. Lagi-lagi saya mau ingatkan, bahwa tidak semua orang mampu merekonstruksi pendengaran yang demikian. 

Namun alangkah baiknya jika kita belajar dari pengalaman seorang Nabi yang di catat dalam Alkitab, yaitu Nabi Nuh yang diselamatkan bersama dengan keluarganya dan ciptaan lainnya dari bencana banjir besar di negerinya. Mengapa nabi Nuh? karena menurut saya, kisah ini relevan dengan situasi bencana pandemi yang kita hadapi saat ini. Jadi, saya mau mengajak para pembaca yang budiman, untuk merekonstruksi narasi Nabi Nuh melalui pendengaran yang imajinatif untuk merespon situasi kita saat ini.

Saya akan berangkat dari kisah dalam  Kitab Kejadian 6:9-22 yang menceritakan bagaimana Nuh mempersiapkan segala sesuatu sebelum peristiwa air bah terjadi. Namun sebelumnya, kita perlu melihat karakter dan latar belakang Nuh yang sangat kontras di jelaskan oleh narator, bahwa dia sebenarnya sama seperti orang-orang pada umumnya, punya keturunan, keluarga, anak dan isteri.  

Di sini narator tidak menjelaskan profesi Nuh dan bagaimana Nuh bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun kita bisa menduga bahwa Nuh bisa saja adalah seorang peternak atau petani. Hal itu bisa kita lihat dari pola hidup keturunan  nenek moyang Nuh yang mendominasi sebagai petani ataupun peternak. Itu artinya, Nuh bukanlah ahli di laut lepas, apalagi ahli pembuat perahu. Ini sangat mengherankan sekaligus bertolak belakang dengan profesi Nuh ketika Nuh mampu membuat bahtera sebelum air bah melanda. 

Dalam hal ini kita perlu bersikap skeptis untuk mengelolah daya imajinasi kitabagaimana mungkin seorang yang tidak pernah berlayar di laut lepas bisa membuat bahtera?.  Kita tidak perlu terlalu terburu-buru untuk mengatakan, bahwa Tuhan sudah memberitahu cara pembuatan bahtera. Tidak! Tuhan hanya memberitahu bahan-bahan pembuatan bahtera, tapi Tuhan tidak memberitahu bagaimana cara merekatkan kayu demi kayu hingga membentuk bahtera. Aneh bukan?!

Dari sinilah kita akan mulai merekonstruksi bagaimana Nuh mampu mengelolah imajinasi lewat pendengarannya. 

  1. Nuh bukan tipikal orang yang banyak bicara. Dalam cerita narator menjelaskan, bahwa Nuh adalah seorang yang benar di zamannya, dia juga bukan orang bercela, dan hidup bergaul dengan Allah.  Kita perlu melihat bagaimana yang disebut orang benar, orang yang hidup tidak bercela, dan orang yang hidup bergaul dengan Allah di zaman Nuh. Ternyata, Nuh bukanlah orang yang ahli berkomunikasi secara lisan. Minimnya informasi tentang bagaimana Nuh berkomunikasi secara lisan menjadi alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa Nuh adalah seseorang yang nggak banyak bicara, atau mungkin pendiam.  Nuh sepertinya lebih mengikuti kata hatinya yang mungkin lahir dari imajinasi spiritualnya yang melekat dari tradisi keturunan nenek moyangnya, yaitu mendengar apa yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Dari penjelasan ini, kita dapat memahami bahwa Nuh adalah seorang pendengar. Apa yang di dengar oleh Nuh direspon dengan baik. Karakter ini berbeda dengan orang benar dan saleh di zaman Abraham. Abraham sangat komunikatif dan banyak berbicara dengan sesamanya dan  dengan Tuhan secara lisan. Bahkan ketika Sodom dan Gomora akan di hancurkan, ada tawar menawar di dalam doa Abraham kepada Tuhan. Namun berbeda di zaman Nuh, nggak ada tawar menawar antara Tuhan dan Nuh. Nuh juga tidak berdoa untuk keselamatan manusia di zamannya. Lagi-lagi, ini adalah persoalan otoritas narator yang memiliki banyak sudut pandang untuk menghasilkan nilai-nilai yang berbeda di setiap episodenya. Jadi kita dapat menarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan orang saleh dan benar di zaman Nuh adalah orang yang mau mendengar dan  merespon dari apa yang di dengarnya itu tanpa banyak bicara.
  2. Nuh berani tampil beda dengan masyarakat sezamannya. Di dalam ayat sebelumnya dalam Kitab Kejadian, dijelaskan bagaimana prilaku orang-orang di zaman Nuh  adalah jahat dan hatinya selalu membuahkan kejahatan. Peristiwa kejahatan bukan baru terjadi di zaman Nuh, salah satu nenek moyang Nuh yaitu Kain, sudah melakukan kejahatan dengan membunuh Habel (Kejadian 4:1-16). Di zaman Nuh kejahatan manusia semakin terang-terangan ditunjukkan.  Kebejatan manusia tidak berubah; nafsu dan kekerasan masih merupakan sarana ungkapan kejahatan yang tak terkendali. Di dalam episode yang sama, narator sangat kontras menjelaskan bahwa sifat Allah juga turut berubah. Allah dinyatakan dalam pasal-pasal awal Kitab Kejadian ini sebagai Allah yang menangani orang secara pribadi dan sanggup menyatakan perasaan, kekecewaan, dan reaksi terhadap kejahatan dan pemberontakan manusia. Istilah "Allah menyesal" dalam Kejadian 6:6 menunjukkan bahwa akibat kejahatan umat manusia yang menyedihkan itu, sikap Allah terhadap manusia berubah; sikap kemurahan dan sabar berubah menjadi murka. Namun meskipun demikian, di dalam kemurkaan-Nya, Allah tetap terbuka dan tanggap dalam urusan-Nya dengan manusia. Allah dapat mengubah perasaan, sikap, tindakan, dan pikiran-Nya sesuai dengan tanggapan yang berubah terhadap kehendak-Nya. “Allah yang menyesal” merupakan pernyataan mengenai Allah sebagai Allah yang dapat merasakan penyesalan dan kesedihan. Hal ini menunjukkan bahwa Allah berada dalam hubungan yang pribadi dan intim dengan ciptaan-Nya. Dia memiliki kasih yang mendalam bagi umat manusia dan perhatian ilahi terhadap persoalan umat manusia. Kejahatan yang di tunjukkan secara terang-terangan itu sepertinya telah mengakar menjadi budaya masyarakat setempat. Namun demikian, Nuh sepertinya memilih jalan sendiri untuk tidak terlibat dalam skandal kejahatan manusia pada saat itu.

Dari hasil rekonstruksi ini, Nuh  berusaha mengeksplorasi penyesalan Allah lewat  perasaannya. Nuh mampu merasakan bagaimana kekecewaan Allah pada saat itu  dengan melihat realitas yang terjadi di depan matanya. Dia menjadi peka dan mengetahui bahwa sifat-sifat manusia di zamannya sudah tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku sebelumnya. Dari kepekaan inilah, lahir imajinasi melalui pendengaran. Pendengaran yang dikelolah oleh imajinasi ini, bukan sekedar bisa mendengar, sebab seekor anjing pun bisa mendengar, bahkan lebih peka dari pada manusia. Tetapi pendengaran yang dikelolah oleh imajinasi adalah pendengaran yang menunjukkan kesadaran secara utuh, yang mampu melihat dan merasakan melampaui keberadaan dirinya sendiri. Dari pendengaran seperti inilah, Nuh mampu melakukan apa yang belum pernah dilakukannya, mulai dari membuat bahtera sampai mengumpulkan hewan dari muka bumi untuk masuk memenuhi bahtera. Semua di lakukan untuk menyambut bencana yang akan datang. Di sinilah peranan Allah bekerja dalam imajinasi Nuh. Melalui imajinasi Nuh, Allah sudah merealisasikan jaminan keselamatan bagi peradapan ciptaan di bumi.

Apa yang bisa kita pelajari dari kisah Nuh ini?

Pertama. Kita perlu mengakui, bahwa dari kisah Nuh ini  lahir banyak penafsiran. Tidak jarang bencana yang terjadi itu ditafsirkan sebagai hukuman Tuhan atas orang-orang yang berdosa, sehingga ada klaim bahwa di balik bencana ada hukuman Tuhan. Benarkah demikian? Tentu penafsiran seperti ini akan berdampak pada stigma buruk bagi korban yang mengalami bencana, dan hal yang demikian sama sekali tidak relevan. Dalam tulisan ini, saya tidak ingin mengklaim hal itu menjadi sebuah kebenaran, sebab saya bukan ahli surga yang mengkalim seseorang berdosa sehingga harus di hukum. Saya juga bukan sahabat Tuhan yang baik, bukan juga pengawal-Nya yang setia, yang mengatasnamakan Dia untuk sebuah pembenaran. Saya hanya seorang pendengar dan pembaca yang budiman, yang kemudian merespon apa yang saya dengar dan saya baca. Terserah bagaimana anda memandang sebuah peristiwa, sebab saya tidak mengajak anda untuk merespon narasi-narasi Kitab Suci untuk sebuah pembenaran, tetapi saya ingin mengajak anda untuk merespon narasi-narasi itu dengan imajinasi yang logis. Tanpa harus menjadi hakim atas yang lain.

Dalam situasi pandemi yang kita hadapi saat ini, tentu tidak relevan bila kita menyatakan bahwa ini adalah hukuman Tuhan atas dunia ini. Tetapi kita perlu merespon situasi ini agar  keadaan menjadi kondusif. Maka kita perlu melihat kembali cerita Nuh ini sebagai dasar bagi kita untuk menentukan peradaban yang akan datang.  Kita tidak perlu memberi respon berlebihan atas kebijakan-kebijakan yang diambil, baik oleh lembaga negara, lembaga sosial, lembaga agama, maupun lembaga lainnya. Sebab kita harus meyakini, bahwa belum ada kebijakan yang baik dalam situasi ini. Semua kebijakan yang diambil adalah kebijakan yang buruk di tengah situasi yang paling buruk. Kita hanya perlu menjaga diri kita dan keluarga kita. Dalam situasi saat ini, rumah menjadi bahtera yang aman bagi kita dan keluarga untuk menghindari gelombang pandemi ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline