Babad alas wonosadi gunung gambar lan gunung tutup
Gunungkidul.
Dalam riwayat di kenal dengan istilah "bubaran majapahit" atau "sirna ilang kertaning bumi" pada tahun 1400 saka, Raja terakhir Majapahit Prabu Brawijaya memerintahkan kepada para pengikutnya agar membentuk kelompok-kelompok untuk menyelamatkan diri dari prahara di istana Trowulan dan mencari tempat yang cocok untuk bermukim.
Sebagian dari rombongan tersebut bergerak ke arah barat daerah Gunung Lawu kemudian ke arah Pantai Selatan dan menyebar ke barat di sekitar Pegunungan Sewu. Disebutlah serombongan "pelarian Majapahit" yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Rororesmi dengan dua orang anaknya bernama Onggoloco dan Gadingmas.
Rororesmi adalah salah satu isteri selir dari Prabu Brawijaya dan kedua putranya tersebut merupakan senopati perang Majapahit yang dikenal tangguh. Kelompok tersebut terpisah dengan kelompok lainnya, berbulan-bulan mereka menuju kearah barat sesuia petunjuk gaib yang diterimnya.
Sampailah mereka pada suatu kawasan hutan yang luas dan lebat dan dikenal sebagai hutan yang angker dihuni banyak mahluk halus. Hutan tersebut membentang pada lereng perbukitan yang miring ke selatan yang di kenal dengan nama hutan Wonosandi yang artinya hutan yang penuh rahasia. Lama kelamaan nama tersebut berubah menjadi Wonosadi sampai dengan sekarang.
Di dalam hutan keramat ini bersemayamlah seorang Raja Jin yang bernama Gadung Melati yang berwujud se-ekor macan putih yang ganas. Mengetahui ada jin menghalangi niatnya, Pangeran Onggoloco dan Gadingmas bertarung melawan Gadung Melati. Tetapi kesaktian keduanya tidak bisa ditandingi oleh Jin Gadung Melati beserta seluruh anak buahnya, sampai akhirnya Jin Gadung Melati mengaku kalah dan mempersilahkan kedua Pangeran Majapahit tersebut menempati kawasan di sekitar hutan wonosadi.
Sebagai gantinya Jin Gadung Melati memohon kepada Pangeran Onggoloco agar ia tidak di usir, namun diperkenankan bersemayam di dalam sebyah sumber mata air di hutan alas Wonosadi. Karena di anggap tidak menjadi persoalan, maka Jin Gadung Melati di perkenankan menetap di dalam sumber mata air. Permintaan tersebut dikabulkan dengan imbalan balik bahwa Gadung Melati dengan seluruh anak buahnya tidak boleh menggangu kehidupan masyarakat sekitar hutan dan diharuskan ikut melestarikan hutan tersebut. Itulah sebabnya hutan tersebut menjadi angker sampai sekarang dan oleh penduduk dianggap hutan keramat.
Tak satupun warga hingga kini berani menggambil kayu dan merusak aneka tumbuhan di hutan Wonosadi. Pohon-pohon yang mati tersambar petir tidak akan ditebang dan dibiarkan dengan begitu saja dibiarkan menjadi humus. Warga Wonosadi percaya bahwa hutan itu merupakan warisan sekaligus titipan nenek moyang.
Setalh tidak ada gangguan, maka pembukaan hutan berjalan dengan lancar dan terbentuklah permukiman baru yang sekarang bernama Dusun Duren Beji Ngawen. Untuk menandakan terbentuknya permukiman baru, maka dibuatlah prasasti dengan menanam pohon mangga yang kala itu sudah langka. Pohon mangga tersebut ditanam di tempat pembabatan hutan pertama kali yang diberi nama kaliendek.
Tak selang lama, banyak pendatang baru dan mendiami tempat ini,sehingga dalam kurun waktu kira-kira 10 tahun terbentuklah dusun-dusun baru Dusun Tungkluk,Duren,Beji,Sawit,Ngelo,Sidorejo,Suru dan Dusun induk yaitu Dusun Ngawen. Sawah-swah mulai menghijau membentang di selatan hutan Wonosadi, dari arah barat ke timur. Kehidupan masyrakat serba kecukupan aman tentram sangat jarang terjadi gangguan.