Pada Sidang Umum Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) Januari 1998, seorang wanita pemberani melontarkan pandangan-pandangannya tentang demokratisasi di depan sidang. Di tengah kontroversi demi kontroversi, kondisi negara yang sedang krisis saat itu, dan ABRI yang kalang kabut, wanita itu tak gentar menyampaikan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru.
Berhembus kabar bahwa biaya yang dipakai untuk menyelenggarakan SU MPR 1998 menghabiskan dana sekitar Rp 45 miliyar. Biaya tersebut terbilang fantastis untuk penyelenggaraan sidang umum, melihat kondisi ekonomi negara yang berantakan saat itu.
Selain itu Ketua Umum Golkar Harmoko sebelum sidang mengatakan bahwa tidak ada kader Golkar yang akan menginterupsi pencalonan pasangan Soeharto--Habibie. Bahkan bagi kader Golkar yang mendukung calon selain Soeharto-Habibie akan dikenai sanksi.
Ada juga kabar akan ada kelompok- kelompok yang mencoba mengagalkan sidang umum ini. Panglima Kodim Jaya, Mayor Jenderal (Mayjen) Sjafrie Sjamsoedin terpaksa mengerahkan 40.000 pasukannya untuk mengamankan Sidang.
Adalah Khofifah Indar Parawansa, wanita yang tampil membacakan pidato pernyataan sikap Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) dalam Sidang Umum MPR 1998 itu. Pidato politisi kelahiran 1965 ini menjadi pidato kritis pertama terhadap pelaksanaan Orde Baru dalam ajang formal nasional setingkat Sidang Umum MPR.
Hampir segenap anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, pada saat itu didominasi Fraksi Karya Pembangunan (Golkar), Fraksi ABRI dan Fraksi Utusan Golongan, dibuat terperanjat dengan pidato yang menohok jantung para penguasa Orde Baru tersebut. Bukan hanya kritik, aktivis organisasi ini juga menyampaikan berbagai kekurangan, dan kecurangan, Pemilu 1997 seraya melengkapi pidato dengan berbagai ide tentang demokrasi.
Khofifah yang saat itu berusia 33 tahun, hampir tidak jadi membawakan pidato itu karena pada saat forum internal FPP, ada beberapa anggota FPP yang hendak mengganti Khofifah dengan orang lain. Setelah dipertahankan oleh beberapa tokoh senior FPP seperti Hamzah Haz dan Yusuf Syakir, Khofifah pun membaca lagi teks pidato itu dan memutuskan mengubahnya.
Pidato yang berani itu mengejutkan Fraksi Utusan Golongan dan ABRI karena tidak sesuai dengan teks pidato yang mereka terima. Pada era orde baru, pidato di depan institusi resmi atau di hadapan publik harus terlebih dahulu diserahkan teksnya kepada ABRI di markasnya di Cilangkap. Teks pidato yang diterima ABRI hanya berisi puji-pujian terhadap pemerintahan Soeharto. Karena keberaniannya tersebut, karir politik khofifah kian naik.
Khofifah Indar Parawansa dikenal dengan panggilan khofifah. Perempuan kelahiran Surabaya, Jawa Timur, 19 Mei 1965 ini menghabiskan masa kecilnya di Surabaya. Bahkan masa sekolah dan kuliahnya juga di kota Pahlawan ini.
Saat kuliah, ia mengambil dua jurusan yang berbeda di perguruan tinggi yang berlainan. Pertama, dia belajar politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga (Unair) dan kedua, ia belajar ilmu komunikasi dan agama di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah, Surabaya.
Karir politiknya dimulai saat dia berusia 27 tahun menjadi anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 1992-1997. Pada pemilu berikutnya, 1997, ia terpilih kembali menjadi anggota DPR. Pada periode ini, Khofifah hanya bertahan dua tahun. Karena pada waktu itu, tahun 1998, terjadi peralihan rezim Orde Baru ke Era Reformasi.