Lihat ke Halaman Asli

Cinta Boleh Buta, Tapi?

Diperbarui: 22 Januari 2016   20:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kepulanganku dari Mataram ke kampung halaman tercinta setelah beberapa hari liburan di Mataram cukup menyisipkan beberapa kisah yang menggodaku untuk membagikannya terutama saat perjalanan menggunakan kapal fery. Seperti biasanya jika menaiki kapal fery aku selalu berangkat pagi, hal ini untuk menghindari perjalanan darat sore hari ketika tiba di Sumbawa yang sering hujan.

Singkat cerita baru menaiki kapal aku dan adikku duduk di ruangan VIP namun karena AC nya mati akhirnya kami pindah ke kursi luar untuk mendapatkan desiran angin. Maklumlah cukup gerah berada di dalam ruangan sebelumnya.

Ketika ku duduk kuperhatikan disampingku terdapat seorang pria dengan seorang bule. Bulenya menurutku sangat cantik dengan hidung yang mancung. Awalnya aku menduga bahwa pria ini adalah guide yang siap mengantarkan si bule kemanapun si bule ingin pergi.Tapi ada banyak keraguan saat itu soalnya sekilas ku lihat mereka berdua cukup mesra. Rasa penasaran yang sangat besar menggodaku untuk menyapa si pria , mencoba untuk berkenalan. Akhirnya dengan sedikit mengubur rasa malu, aku akhirnya dapat bercakap dengan si pria, ternyata namanya bang Tam.

Setelah basa basi ternyata bang tam emang guide yang kerja di gili terawangan, tapi bentar dulu ternyata bulenya ini bukan tamu bang Tam tapi istrinya. Woow aku sempat terkejut, nama bule ini Meri asalnya dari german , jauh juga yah dari Indonesia. Kata bang Tam dia baru menikah dan mau liburan dulu ke Sumbawa sebelum istrinya balik ke German mengurus beberapa berkas. Bang tam cerita kalau dia dan istri ketemu di gili terawangan awalnya saat itu istrinya liburan, dan memang pada awalnya sangat susah menyatukan. Yang pertama masalah budaya yang jauh beda, belum lagi agama, pokoknya sangat banyak perbedaan yang harus mereka satukan agar dapat melangsungkan pernikahan, alhasil dengan kepercayaan dan kerja keras mereka dapat menikah.

Saya cukup kagum dengan mereka karena dapat saling memahami walaupun beda agama, apa itu yah yang disebut love is blind. Tapi pesan bang Tam walaupun cinta itu buta n menyatukan perbedaan tapi jangan sampai sebagai bangsa Indonesia kita kehilangan jati diri kita, budaya ketimuran kita harus tetap dipertahankan karena hanya dengan itu kita disegani oleh orang luar. Cinta mungkin memang buta tapi ia tetap menggunakan rasionalitas dan logika.
Hari itu cukup memberikan beberapa pelajaran kepada saya dan akhirnya pertemuan kita diakhiri dengan meminta kontak WA siapa tahu kita dapat bertemu lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline