Lihat ke Halaman Asli

Indonesia, Tragedi 1965, dan Pemuda Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Republik Indonesia adalah negara kebangsaan yang didirikan berdasar Pancasila dan ditata menurut sistem kenegaraan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, ancaman paling mendasar yang dapat ditujukan terhadap Republik Indonesia adalah kalau makna Pancasila diubah dan tatanan kenegaraan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 disimpangi.Ancaman mendasar tersebut akan bersifat total bila suatu pemerintah alternatif disiapkan, Komando Angkatan Bersenjata dilumpuhkan, golongan-golongan dalam masyarakat disusupi dan diadudomba, upaya meningkatkan taraf hidup dirongrong dan akhirnya, bila negara dilibatkan dalam konfrontasi yang tiada putus-putusnya dengan negara-negara lain.

Dalam sejarah Republik Indonesia kekuatan sosial politik yang mampu dan telah melancarkan ancaman mendasar,bersifat total dan berlanjut adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menganut ideologi Leninisme-Komunisme.

Untuk mencegah, menangkal serta menanggulangi ancaman mendasar itu, harus ada suatu kebijakan kenegaraan yang mendasar pula. Demikianlah, dengan Ketetapan Nomor TAP-XXV/MPRS/1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) sebagai Lembaga Tertinggi Negara telah memutuskan melarang untuk selama-lamanya ideologi Marxisme-Leninisme-Komunisme dan Partai Komunis Indonesia.

Meskipun Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) telah menetapkan untuk melarang untuk selama-lamanya ideologi Marxisme-Leninisme-Komunisme dan Partai Komunis Indonesia. Namun, hal tersebut tetap tidak bisa menghapuskan ingatan dan kenangan para saksi sejarah akan memori kelam dan tragis yang terjadi pada tahun 1965.

Banyak saksi sejarah yang masih trauma dan terngiang-ngiang selalu dengan kejadian tersebut. Kejadian dimana banyak keganasan, kebrutalan yang dilakukan oleh orang Indonesia terhadap bangsanya sendiri. Sekitar 500 ribu orang tewas dalam tragedi itu, tapi ada juga estimasi bahwa yang tewas di atas dua juta orang. Belum lagi ratusan ribu orang yang ditahan tanpa proses dan sering disiksa pada kurun tahun 1965-1968.

Proses pembantaian ini, saat ini sering disebut sebagai, “tragedi kemanusiaan 1965”. Tetapi pemakaian kata tragedi adalah sebuah penyelewengan sejarah dan seharusnya segera berhenti. Tragedi diambil dari bahasa Inggris “tragedy”, yang berarti sebuah peristiwa sedih dan malapetaka. Memang pembantaian ini adalah malapetaka buat Indonesia dan jelas juga sesuatu kejadian yang menyedihkan. Tetapi tragedi terkesan seolah sebuah kecelakaan, seolah tak ada kesengajaan di dalamnya.

Dalam kasus pembantaian 1965, pembunuhan dan teror dijalankan sepenuhnya dengan sengaja. Harus dicatat, dari 500 ribu orang lebih yang tewas, hanya tujuh di antaranya yang dikategorikan anti-komunis, yaitu para perwira yang mati dalam aksi keblinger yang dilakukan oleh kelompok Gerakan 30 September. Dari tujuh orang itu, tiga meninggal ditembak di rumah (juga termasuk anak perempuan Jenderal Nasution) dan lainnya dieksekusi di luar proses hukum.

Sementara itu pembantaian terhadap pendukung Soekarno yang terjadi kemudian pun bukan bagian dari sebuah konflik atau perang saudara. Tidak ada niat atau kemampuan dari pihak pro-Soekarno dan pro-PKI untuk melawan balik. Pembantaian yang terjadi adalah pembantaian terencana yang dilakukan oleh militer di bawah pimpinan Soeharto , bersama-sama beberapa milisi partai anti-Soekarno dan anti-PKI yang dilatih dan dipersenjatai oleh militer.

Menyebut peristiwa pembantaian 1965 sebagai tragedi, sama artinya dengan menutupi kenyataansejarah. Sebuah tragedi adalah sesuatu yang harus ditangisi dan disesali. Tetapi pembantaian 1965 bukan hanya sesuatu malapetaka yang menyedihkan, melainkan juga sebuah tindakan kriminal yang harus ditindaklanjuti dengan proses hukum yang berlaku. Karena yang terjadi saat itu bukan sebuah kecelakaan alam yang jatuh dari langit, tetapi suatu kesengajaan yang dilakukan oleh pihak kekuasaan yang dilangsungkan secara sistematik selama hampir dua tahun berturut-turut.

Sebaiknya kita semua berhenti menggunakan istilah “tragedi”, lantas menggantinya dengan istilah “malapetaka anti-kemanusiaan”. Tentu saja penggantian istilah saja tidak cukup. Kalau memang terjadi pembunuhan sengaja yang sistemik terhadap orang tak bersalah dan tak bisa membela diri, mestinya harus ada keadilan yang ditegakkan.

Istilah “tragedi” juga menciptakan kesan seolah-olah apa yang terjadi tahun 1965 tahun juga tanpa sebab, tanpa asal-usul. Kesan ini juga harus dihilangkan. Karena selama kesan itu ada, generasi manusia sekarang ini khususnya kaum muda Indonesia tidak akan terangsang untuk mengetahui lebih lanjut mengenai bagaimana dan mengapa peristiwa itu dapat terjadi.

Kata “tragedi” juga menyebabkan sumirnya pengertian bahwa apa yang terjadi mulai oktober 1965, adalah bagian dari sebuah sejarah pertarungan yang sudah berlangsung sejak tahun 1920-an. Pertarungan itu terjadi pada soal akan kemana Indonesia dibawa setelah merdeka pada tahun 1945. Pertarungan itu semakin menajam pada tahun 1960-an. Dua kubu tumbuh berkembang sama kuatnya saat itu : kubu pertama, dipimpin secara ideologis oleh Soekarno yang menginginkan sosialisme ala Indonesia, sementara kubu yang lain dipimpin oleh elemen militer yang menginginkan Indonesia berkiblat ke kapitalisme.

Untuk bisa memahami tidak cukup berhenti dengan rumusan konflik yang sederhana. Kita harus lebih dalam meneliti apa yang dimaksud oleh dua faham itu. Hal itu merupakan sebuah studi kolektif yang perlu diadakan bersama oleh seluruh masyarakat Indonesia secara terbuka, bebas sensor dan bebas dari beban adanya sebuah “sejarah resmi” Indonesia. Dalam suasana bebas, semua ini harus digali bersama.

Itu semua dilakukan tentu tidak lepas dari peran para pemuda Indonesia dalam upayanya menyembuhkan luka bangsa Indonesia atas apa yang menimpa bangsa kita tercinta tahun 1965. Pemuda adalah pilar bangsa karena merekalah pemilik sesungguhnya masa depan bangsa ini.

Memang menyembuhkan sebuah luka tidaklah semudah membalikan tangan apalagi bila luka tersebut adalah luka sejarah yang sangat membuat bangsa Indonesia masuk ke saat-saat paling kelam dan tragis sepanjang sejarah bangsa Indonesia tentu menjadi tugas berat dan membutuhkan waktu yang cukup lama bagi para pemuda Indonesia dan pihak-pihak yang terkait untuk menyembuhkan luka tersebut dan mengembalikan konsep sejarah yang benar tentang peristiwa tahun 1965 kepada masyarakat.

Sebuah langkah kecil tetap harus dimulai. Dimulai dari menyelidiki dan melakukan penelitian tentang tragedi 1965 kemudian menemukan kenyataan yang terjadi sebenarnya dan menganalisis hal tersebut supaya dijadikan sebagai acuan untuk menentukan langkah selanjutnya.

Langkah selanjutnya adalah bagaimana kita sebagai kaum muda Indonesia sebaiknya mengambil langkah ke depan yang progresif revolusioner sebagai bentuk dedikasi cita-cita rekonsiliasi.

Peran pemerintah disini pun sangat vital mengenai bagaiamana para pemuda khususnya generasi emas penerus bangsa untuk mengetahui sejarah dan latar belakang bangsanya sendiri, sehingga diharapkan dengan mengetahui sejarah yang benar dapat menjadikan rakyat Indonesia khususnya para pemuda secara sadar dapat memelihara kewaspadaan terhadap segala bentuk ancaman dan tindakan serupa.

Daftar Pustaka

Sekretariat Negara Republik Indonesia.1994.Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia : Latar belakang, aksi dan penumpasannya.--- Ed.1.; Cet. 2. Jakarta : PT. Ghalia Indonesia




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline