Lihat ke Halaman Asli

Indonesia Negaranya Preman

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tiap malam, di samping sungai dekat asrama kampus saya, berjejer gerobak jualan makanan seperti bubur ayam, mi goreng, dan roti bakar. Karena harganya yang relatif murah daripada di resto asrama banyak mahasiswa yang memilih beli makan disana. Suatu malam, daerah itu kedatangan gerobak baru yang berjualan bakwan kawi Malang. Jualannya cukup laku, karena memang tidak ada saingannya disana.

Tiba-tiba datang dua tiga orang pemuda sambil marah-marah. Salah satunya menelpon entah siapa keras-keras. Mereka kemudian berkeliaran di sekitar gerobak bakwan kawi sambil mengambili dan memakani dagangan seenaknya.

Saya yang sedang membeli roti bakar di gerobak sebelah kaget, begitu juga dengan orang yang berjualan di sekitar situ. Mereka berkali-kali melirik kearah abang yang berjualan bakwan kawi dengan gugup.

"Belum izin sih," bisik abang roti bakar ke penjual bubur ayam di sebelahnya.

Penjual bakwan kawi jelas ketakutan. Salah satu dari preman itu masih menelpon (mungkin bosnya, atau temannya) keras-keras. Kejadian itu baru selesai sampai penjual bakwan kawi itu pulang, dan selama beberapa waktu dia tidak pernah muncul lagi.

Tidak lama setelah itu, siang sepulang kuliah, saya menjumpai seorang ibu-ibu dengan balitanya yang duduk ndeprak di samping sungai. Di depannya ada termos air hangat dan berbagai bungkus minuman sachet. Karena kasihan, saya balik lagi dari kamar sambil membawa tempat minum. Ibu itu terlihat senang sekali, sehingga bercerita tidak berhenti-henti sambil membuatkan saya susu hangat.

"Dulu saya pengemis mbak. Asal saya dari Tangerang. Tapi ada beberapa mahasiswa yang memodali saya untuk usaha bikin minuman,"

"Ibu dapat berapa setiap hari?" tanyaku, karena tidak seorangpun yang berhenti dari tadi untuk membeli dari si ibu ini. Wajar sebenarnya, karena berbagai macam hal. Ibu ini hanya bermodal termos dan bungkus minuman yang diletakkan diatas terpal kecil. Apakah airnya higienis pun saya juga tidak tahu.

"Nggak sampai dua puluh ribu mbak, itupun kemarin langsung diminta preman, katanya biaya berjualan disini. Saya sudah diusir beberapa kali sama mereka," kata ibu itu sedih, "Memang gitu mbak, semuanya yang berjualan disini harus bayar ke preman-preman itu,"

Saya sendiri tidak tahu harus bilang apa. Rasanya marah dan kesal, melihat preman-preman mengambil keuntungan dari rakyat kecil. Ibu yang berjualan minuman itu hanya bertahan dua hari sebelum akhirnya benar-benar tidak pernah datang lagi.

Ada juga cerita di Jogja, meski selalu ramai dengan wisatawan dan tarif parkir bisa naik lima kali lipat saat liburan, tukang parkir tetap tidak pernah berkecukupan karena wajib setor ke bos parkir. Ibu saya sempat bertanya siapa bosnya, tapi tukang parkir yang bersangkutan tidak berani menyebutkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline