Tiap hari saya selalu punya segudang aktivitas, yang untungnya bisa dilakukan secara fleksibel. Selain hal-hal yang berhubungan dengan tetek bengek artikel, bisnis, dan tugas kampus, saya juga masih harus mengurus rumah tangga sendirian. Saya tak mau membiasakan diri makan mie instan seperti anak kos umumnya, jadi saya usahakan untuk tetap memasak, sesibuk apapun. Perkara memasak ini tentu di belakangnya ada keseruan-keseruan lain: berbelanja, merajang sayur, mengolah bumbu... yang tentu saja memerlukan ekstra waktu dan tenaga. Tapi saya senang, memasak bagi saya adalah proses refleksi diri, karena memasak bukan hanya tentang menumis bumbu. Ada banyak waktu untuk berpikir, untuk merasakan, untuk menikmati hidup, semua dengan cara yang enak dan tentu membuat bahagia (siapa yang tak bahagia ketika perutnya kenyang?).
Memasak, seperti yang saya bilang, prosesnya bahkan dimulai sejak memilih bahan. Saya senang tinggal di Lille, di mana ada banyak pilihan tempat belanja, mulai dari supermarket ternama hingga pasar penuh orang asing. Preferensinya tergantung kesibukan di hari itu. Jika sedang terlampau sibuk dengan urusan kampus, saya memilih untuk mampir ke supermarket ketimbang ke pasar. Namun ketika ada waktu lebih senggang, pasar tumpah menjadi andalan. Di pasar saya juga lebih bisa bersinggungan dengan banyak orang, kebanyakan orang asing dari Asia seperti India, Tiongkok, Arab, Turki, dan sekitarnya, jadi untuk mencari bumbu yang pas di lidah Indonesia saya tentu tak sukar. Saya sering mendapat rejeki nomplok ketika belanja di pasar, satu hal yang tak mungkin saya dapatkan jika belanja di supermarket. Ibu saya kerap bilang di telepon, katanya mungkin para penjual ini merasa kasihan melihat saya, hahaha.
Pernah suatu ketika saya diberi melon gratis. Jadi, waktu itu, sudah memasuki bulan puasa sekaligus musim panas, buah-buah tropis mulai berdatangan dan saya yang aslinya cuma mau mampir untuk lihat-lihat (karena lupa bawa tas belanja sementara kalau mau belanja di sini sebaiknya bawa tas belanja sendiri, tak semua pedagang menyediakan kantong plastik), malah akhirnya menenteng 5 Kg buah dan sayur. Sulit sekali rasanya melihat buah dan sayur segar bertebaran dengan harga murah, kebanyakan hanya 1 euro sampai 2 euro per Kg atau per 2 Kg. Bayangkan waktu itu saya mendapat pisang dua Kg dengan harga 1 euro atau Rp 15.000 saja, saya kira di Indonesia pun saya belum pernah belanja sebegitu murahnya.
Kebetulan bapak penjual pisang juga menjual melon, harganya cuma 1 euro untuk dua buah melon. Saya tertarik karena lumayan untuk bikin takjil apalagi saat itu cuaca cenderung sangat panas, bikin es sirop pakai melon terdengar nikmat! Tapi ternyata melon yang dijual sudah bukan yang berkualitas baik, saya cuma bisa menemukan satu buah melon yang layak dibawa pulang. Lalu saya tanya ke bapak yang jual, bisakah saya hanya beli satu saja dengan harga 50 sen? Ternyata kata beliau tidak bisa. Anehnya, setelah bilang begitu, Si Bapak malah bilang, "Tapi kalau gratis, bisa", akhirnya saya pulang dengan melon gratis di tangan, hehehe.
Pluralisme budaya yang luar biasa banyaknya di pasar ini juga membuat saya merasa jadi manusia yang less-judgmental. Sering sekali di media kita baca berita yang menyudutkan orang-orang dari Timur Tengah, ibu-ibu yang mengenakan jilbab, bapak-bapak yang berjenggot dan bergamis panjang, orang-orang berkulit hitam, bermata sipit, berlogat daerah asal yang kental, dan orang-orang yang sering mendapat stigma buruk lainnya.
Di pasar, saya melihat sendiri bagaimana kerukunan-kerukunan hadir tanpa perlu dipaksakan, bagaimana komunikasi terjadi penuh rasa dan keakraban, meski ada banyak sekali bahasa yang terdengar dari tiap tutur kata masing-masing orang. Saya mendengar Bahasa Prancis, Bahasa Arab, Bahasa Mandarin, Bahasa India, dan entah bahasa apa lagi. Saya melihat orang-orang bercengkerama satu sama lain tanpa melihat pakaiannya, ibu-ibu yang mengenakan tanktop bercanda dengan ibu-ibu yang bercadar, bapak-bapak dengan gamis panjang berdiskusi panjang lebar di tepi kiosnya dengan bapak-bapak bercelana pendek bersama anjing kecilnya, anak-anak muda juga tak segan keluar masuk los-los dan mengobrol dengan para penjual meski mayoritas sudah seusia kakek-nenek mereka... saya tak melihat sekat!
Perkara memasak yang diawali dari kegiatan belanja ini rupanya adalah salah satu cara yang baik untuk bercermin. Saya rasa orang-orang yang gemar menciptakan stigma dan menyulut permusuhan antar golongan itu tak pernah merasakan indahnya atmosfer perbedaan, salah satunya melalui belanja di pasar yang plural, piknik ke daerah lain, atau ya intinya melakukan perjalanan-perjalanan lintas wilayah. Saya keluar dari zona nyaman saya, keluar dari kebiasaan dan rumah saya, akhirnya saya bisa bertemu dengan banyak orang, dengan perspektif yang berbeda-beda. Saya bertemu orang dari berbagai suku bangsa, saya berteman dengan banyak orang yang selama ini dianggap minoritas oleh orang-orang yang menganggap diri mereka mayoritas, dan saya bersyukur bisa punya kesempatan untuk mempertajam rasa, salah satunya ya lewat memasak, bukan? Saya mempertajam rasa di lidah, juga di hati.. Life is more than just beautiful.
Ya sudahlah, malah jadi melantur. Saya mau masak dulu! :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H