Lihat ke Halaman Asli

Wasilatur Rahmah Siftia Rusydi

Mahasiswa Bimbingan dan Konseling, Universitas Negeri Surabaya

Belajar Selflove dari Film "The Greatest Showman"

Diperbarui: 5 Desember 2022   18:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Semua orang pasti memiliki setidaknya satu film yang sangat berarti dalam hidupnya. Dalam suatu film juga pastinya terdapat value atau pelajaran hidup yang bisa kita contoh. Salah satunya dalam drama musikal berjudul The Greatest Showman. Film ini rilis pada akhir tahun 2017 dan berhasil menuai kesuksesan serta memperoleh banyak penghargaan bergengsi, salah satunya Best Grownup Love Story (AARP's Movies for Grownups Awards). Bahkan bisa bertahan selama 2 bulan di bioskop, sehingga kerap disebut sebagai film terbaik sepanjang masa. Lantas, apa yang membuat film ini begitu terkenal? Alur ceritanya yang memadukan unsur romantis dan komedi membuat penonton tidak bisa memalingkan wajah dari layar bioskop. Drama musikalnya berbeda dengan kebanyakan film, sountrack dan pertunjukan yang disajikan sangat cocok. Beberapa soundtrack yang terkenal berjudul: Rewrite the Star (Zendaya, Zac Efron); a Milion Dreams (Hugh Jackman); dan This is Me (Keala Settle).

The Greatest Showman bercerita tentang kehidupan seorang pria bernama P. T Barnum yang diperankan oleh Hugh Jackman. P. T Barnum berasal dari keluarga miskin dan anak seorang penjahit, nekat mencintai anak bangsawan bernama Charity. Saat dewasa Barnum dipecat dari pekerjaannya, kemudian dia memberanikan diri meminjam uang ke bank untuk membeli museum kuno yang berisikan patung lilin. Karena museumnya tidak membawa banyak keuntungan, dia berkreasi untuk membuat pertujukan dengan menampilkan beberapa "orang aneh" sebagai lakonnya. Disinilah letak keunikan film ini, mengajarkan kita untuk mencintai diri sendiri. Sebagian orang mungkin memandang kita sebagai orang aneh yang tidak berguna. Namun percayalah, di sisi dunia yang lain ada yang melihat kita sebagai orang berharga.

P. T Barnum mengumpulkan orang-orang  yang dianggap memalukan oleh keluarganya. Mulai dari wanita dengan kumis dan jenggot, pria perut buncit, bahkan pria yang tingginya di atas rata-rata. Dia berpikiran bahwa manusia dilahirkan dengan keunikannya masing-masing. Pada awalnya, memang tidak mudah meyakinkan orang-orang tersebut untuk bisa pecaya diri tampil di depan panggung. Sampai akhirnya kepercayaan dirilah yang membuat penonton bersorak dan bertepuk tangan melihat penampilan dari orang yang dianggap aneh.

Percaya diri didapat sesaat setelah kita bisa mencintai diri sendiri. Mudah untuk mengatakannya, namun sangat sulit saat diimplementasikan. Salah satu penyebabnya yaitu karena kurang bersyukur dan terlalu banyak membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Memang, dalam situasi tertentu melihat pencapaian orang lain akan membuat diri kita termotivasi untuk berhasil. Akan tetapi, apabila hal tersebut cenderung dialihkan ke emosi negatif, maka efeknya bisa membuat alam bawah sadar merasa tidak berguna dan insecure. Hakikatnya, manusia diciptakan untuk saling melengkapi, oleh karena itu tidak ada satupun manusia yang sempurna.

Dalam film juga menceritakan bahwa meskipun pertunjukan memperoleh kesuksesan yang besar, tetap ada orang yang mencaci dan membenci. Menyikapi hal tersebut, terdapat paham stoikisme yang berkata "Kebahagiaan berasal dari ketidakpedulian". Perlu ditekankan disini, ketidakpedulian yang dimaksud adalah tentang hal-hal negatif yang berasal dari luar maupun pemikiran diri sendiri. Jika dikaitkan dengan ilmu psikologi, terdapat beberapa hal yang tidak bisa kita kendalikan, seperti realita masa depan yang akan dihadapi atau penilaian orang lain terhadap diri kita. Sebaliknya, ada pula hal yang bisa kita kontrol, seperti menaruh ekspektasi yang tidak terlalu tinggi, dan respon kita terhadap penilaian orang lain. Saat Lettie (wanita dengan kumis dan jenggot) diolok-olok karena penampilannya yang "berbeda", dia berhasil meredam amarah dengan tetap terus berkarya dan fokus pada pertunjukannya. Tak hanya itu, seandainya Anne dan Philip memilih untuk mendengarkan kalimat menyakitkan yang dilontarkan oleh orang tua Philip, mungkin kisah cinta mereka tidak akan berakhir bahagia. Sampai akhirnya film ditutup dengan kesuksesan dan senyuman dari semua tokoh di dalamnya.

Artinya, untuk meraih kebahagiaan dan kedamaian, perlu untuk mencintai diri sendiri. Dengan menerapkan prinsip kendalikanlah apa yang bisa kita kontrol, dan lupakan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline