Agama adalah sesuatu yang menjadi pedoman seseorang dalam berperilaku maupun berinteraksi, baik sesama manusia, maupun dengan tuhannya. Hak untuk memeluk agama melekat erat pada manusia. Meski begitu, pemberian jaminan hak untuk beragama dan berkeyakinan selalu menjadi perdebatan hangat dalam lingkup nasional bahkan internasional. Perumusan Pancasila sila pertama yang sempat mengalami beberapa perubahan menjadi salah contoh betapa pentingnya jaminan hak untuk beragama dan berkeyakinan. Hal ini dikarenakan hak untuk beragama dan berkeyakinan merupakan sebagian hak dari Hak Asasi Manusia (Human Rights).
Berdasar pada pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentan Hak Asasi Manusia mengatakan bahwasanya hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak untuk beragama dan berkeyakinan adalah hak yang melekat pada hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak ini wajib dihormati dan dihargai oleh orang lain.
Ketika muncul suatu hak, maka muncul pula sebuah kewajiban. Kewajiban yang dimaksud ada pada pemerintah yang seharus mampu memberikan ruang bagi setiap warganya untuk melakukan kegiatan ibadah mereka masing-masing. Jaminan atas kebebasan beragama bahkan tercantum dalam UUD pasal 29 ayat (2). Namun, terdapat pasal partikular yang masih berlaku di Indonesia, yaitu UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama[1]. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwasanya agama-agama dan kepercayaan yang dipeluk maupun diyakini adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu. Hal ini menjadi cikal bakal munculnya sebutan agama yang resmi dan agama yang tidak resmi. Meskipun dalam penjelasan pasalnya disebutkan jika penulisan agama dan kepercayaan yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia tersebut tidak membuat agama dan kepercayaan lain dilarang di Indonesia, hal ini masih dianggap seperti menganaktirikan agama serta kepercayaan selain yang disebutkan tadi. Masyarakat yang memeluk keenam dari agama serta kepercayaan tersebut akan sangat memungkinkan merasa satu tingkat lebih tinggi kastanya dibanding dengan orang yang agamanya tidak disebutkan pada Undang-Undang tersebut. Kejadian seperti ini bukan tidak mungkin terjadi hanya dengan memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Rancunya Undang-Undang ini juga dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM dari instansi pemerintah. Ditambah dengan ditolaknya judicial review oleh Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh beberapa LSM dan tokoh Indonesia di MK juga membuat persepsi tentang pelanggaran HAM dalam instansi pemerintah semakin menguat.
Undang-Undang ini juga sangat mampu untuk mempengaruhi status perizinan pendirian rumah ibadah suatu agama, yang tentunya akan berujung pada dipersulitnya status perizinan pendirian rumah ibadah. Buruknya implementasi Undang-Undang tersebut juga diperparah dengan pengosongan kolom keterangan "agama" dalam Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk yang agama dan kepercayaannya tidak diakui secara resmi oleh pemerintah. Tindakan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, dimakusdkan agar dapat mengakomodasi masyarakat yang agamanya belum mendapat pengakuan dari negara[2]. Selain pengosongan kolom keterangan "agama", masyarakat yang tidak menganut salah satu dari enam agama yang diakui oleh pemerintah, maka terpaksa harus mencantumkan salah satu identitas agama yang sudah diakui. Unsur keterpaksaan ini tentu dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM karena mereka tidak secara sukarela mencantumkan agama lain dalam Kartu Tanda Penduduk mereka. Tjahjo Kumolo sendiri mengatakan tidak ada opsi lain selain pengosongan kolom keterangan "agama" dalam Kartu Tanda Penduduk yang merupakan identitas resmi bagi seorang Warga Negara Indonesia.
Tindakan pengosongan dan keterpaksaan untuk mengisi keterangan "agama" bagi pemeluk agama yang tidak diakui pemerintah menjadi bukti nyata bahwa regulasi yang mengatur tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan justru sarat akan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hak kebebasan beragama merupakan hak dasar bagi manusia yang harus dijamin oleh negara. Walaupun dijamin akan diperlakukan sama dalam hal peribadatan, namun nyatanya perlakuan yang diterima sangat berbeda, bahkan menjurus ke arah pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Seharusnya, pemerintah menerima ajuan judicial review untuk mengkaji tentang Undang-Undang Nomor 1 PNPS tahun 1965 dan tidak memberlakukan adanya regulasi yang menentukan adanya agama yang diakui resmi oleh pemerintah dengan adanya agama yang belum diakui oleh pemerintah. Sehingga, masyarakat yang tidak menganut salah satu dari keenam agama yang telah diakui pemerintah juga dapat mencantumkan identitas agamanya dalam kolom keterangan "agama" dalam Kartu Tanda Penduduk. Dengan demikian, tidak ada konflik atas dasar pembatasan dalam beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H