Lihat ke Halaman Asli

Dera dalam Kesetiaan

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rinduku bulan sabit, dingin dan melekuk. cinta hanya proyektil yang sengaja mampir, Aku hanya kumpulan debu gosong yang tercipta dari bara yang tak jua padam,

Sesudah makan malam Shinta langsung masuk kamar, di tinggalkannya meja makan yang berantakan. bergegas Aku menumpuk piring dan gelas ke pencucian. Tak lama berselang, terdengar sengguk tangis dari kamar. Bagus mengesah, obrolan  singkat tadi berujung pada tetes air mata, melumerkan kemesraan yang raib di benam kepahitan.

''Ya Tuhan, jika Kau masih menyanyangi umatMu, izinkan aku terus mencintai Shinta selamanya'',

di langit syurga, aku adalah pilar wadag yang setiap pasaknya jerit cinta yang mengangkasa

Lima tahun sudah Bagus membina rumah tangga dengan Shinta, semuanya terlihat sempurna, seperti masa pacaran yang penuh tawa, dan rona bahagia. Ia sangat bangga bisa mempersunting Shinta, gadis anak orang kaya sekaligus kembang kampus. Sesuatu kemukjizatan baginya ketika berpuluh rivalnya berlomba mendapatkan perhatian dari Shinta, tapi justru padanya Ia luluh. Semuanya jelas tercetak di ingatan, seperti baru kemarin. Dan semuanya berakhir saat vonis dokter Rido mengatakan di rahim Shinta ada kista yang harus di angkat, dan satu satunya jalan harus mengkuret. Dengan kata lain selamanya Shinta tak bisa memberi keturunan, Shinta langsung pingsan saat itu. Sudah puluhan jalan mereka perjuangkan, termasuk ke pengobatan alternatif, yang meski sebagai seorang akademisi, Bagus kurang mempercayai, toh sugesti dan impian mereka berdua, membawa mereka ke cara-cara non logis.

Malam ini Bagus terpaksa mendiamkan Shinta, Ia tak mau menambah luka dengan hiburan dan spirit kosong, kadang mendiamkan semacam meditasi untuk memulihkan jiwa yang letih merindu.

rahasia keheningan juga hidupmu, jalan  liku yang menulis sejuta puisi, sebab sampai pada berhelai-helai rindu  di dadaku

Esoknya, Seperti biasa, sepulang kerja Bagus mendapati Shinta melamun di gazebo  paviliun. Matanya kosng memandang kolam ikan dan air terjun buatan, Dari kejauhan Ia tamoak seperti peri, rambut dan baju putihnya yang panjang berombak tertiup angin, seolah angin iri pada kecantikan khas jawanya. gurat wajah letih nya tak bisa menyembunyikan aura kemolekan asli dan sahajanya. Melihatnya dari kejauhan hati Bagus terasa disayat sembilu,

suara batu dan cintaku, adalah melodi yang paling gebu, aku tetap betah menyuling rempah-rempah agar sesumpah mengakar dan kerasan tinggal di selaksa hari-hari. aku bukan ranting, yang jatuh menyamping. aku pohon yang menunggu musim semi di senja yang dingin.

"Ah, Shinta, Aku sungguh mencintaimu. Aku tak peduli kamu bisa memberi anak padaku atau tidak, tak penting bagiku. Kita bisa mengadopsi anak bukan''?,

kepada hati yang mengkuduskan rapalan, aku gemar tergugurkan airmata. sebelum sajak-sajak kacau, menyungsang di trotoar kebencian

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline