Lihat ke Halaman Asli

Karena Warganegara itu Bukan Konsumen

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Oleh Sigit Budhi Setiawan

“Gara gara tak mampu membayar biaya perawatan di rumah sakit, seorang bayi ditahan pihak Rumah Sakit Pertiwi, Makassar. Kasus ini mencuat setelah Lembaga Pengaduan Ombudsman Makassar menerima laporan dari orang tua si bayi. […}tim ombudsman menemui langsung keluarga pasien yang baru melakukan persalinan. Kepada tim ombdusman, orang tua bayi, Made Astawo mengaku memiliki kartu Jamkesda yang dapat digunakan untuk berobat dan bersalin secara gratis. Anehnya, pihak rumah sakit masih meminta pembayaran sebesar Rp2,7 juta.”
Sumber,  Sindonews

Jika anda rajin mengikuti berita di koran, internet atau gosip ketika anda melawat ke sebuah rumah sakit, Anda pasti biasa mendengar kabar seorang bayi, seorang pasien ditahan rumah sakit atau seorang ditolak rumah sakit. Mereka biasanya ditahan karena tidak punya uang menebus biaya perawatan, jaminan kesehatan mereka ditolak dan sebab tidak mampu membayar uang penjamin untuk dirawat di rumah sakit.

Kondisi ini sangat memprihatinkan. Pancasila ternyata hanya omong kosong negara saja. Kita perlu sebuah politik publik baru, yang menempatkan  rakyat sebagai warganegara bukan sebagai konsumen.

***

Ekonomi kesehatan berbiaya tinggi, pada mulanya adalah kampus. Bagaimana itu dimulai?

Mudah sebetulnya menunjuk hidung dan menuduh siapa dalang liberalisasi dan pengurangan tanggungjawab negara kepada warganegara dari warganegara menjadi semata konsumen di ranah kesehatan dan pendidikan.

Sebut saja IMF, Bank Dunia, ADB plus Amerika Serikat dan berbagai lembaga keuangan dunia yang memberi talangan dan hutang besar pada Indonesia pada krisis ekonomi 1997-1999 yang lalu. Talangan dan hutang yang besar itu selain dibayar dengan cicilan bunga besar juga harus dibarengi reformasi birokrasi, penghematan belanja publik dan pemangkasan segala bentuk subsidi. “Biarkan pasar dan konsumen mengatur diri mereka sendiri.”

Dampak dari model berpikir lembaga keuangan dunia ini menuntut seluasnya negara melepaskan tanggungjawab keuangan, pengawasan dan kebijakan subsidi kepada sektor pendidikan, kesehatan, publik lain yang menghabiskan banyak anggaran negara. Sebanyak mungkin perusahaan milik negara, baik yang mengusai hajat hidup orang banyak atau tidak, harus dijual atau privatisasi. Negara seminimal mungkin mengurus dan mendanai ini.

Tak pelak perlahan tapi pasti, sekolah, universitas, rumahsakit dsb menjadi semakin mahal dan tidak terjangkau. Universitas pun beramai-ramai menjadi Badan Hukum Pendidikan. Model-model untuk masuk ke sekolah negeri dengan jalur regular semakin sedikit, jalur non regular yang jauh lebih mahal lebih sering dibuka.

Dalam jangka waktu cepat pasca reformasi, 78 Fakultas Kedokteran Umum dan 28 Fakultas Kedokteran Gigi berdiri di Indonesia. Padahal jumlah ideal per 4 juta penduduk hanya satu Fakultas Kedokteran. Kenapa? Dua jurusan ini adalah jurusan empuk, banyak peminat dan penghasil uang. Begitu juga dengan jurusan berbau kesehatan seperti farmasi, kesehatan masyarakat, keperawatan, kebidanan dsb.  Semua dilakukan untuk memperoleh uang sebanyaknya.

“Untuk menjadi dokter kini Anda tidak perlu menjadi pintar. Cukup siapkan uang sebanyaknya untuk ongkos masuk kuliah, bayar kuliah dan bayar tukang analisis ilmiah untuk memudahkan kuliah anda. Uang memudahkan kuliah Anda menjadi dokter.” Begitu  bunyi nyinyir yang sering saya dengar.

***

Ranah kesehatan, telah menjadi bisnis baru. Banyak rumah sakit swasta baru muncul. Di rumah sakit negeri, daya tampung untuk kelas murah meriah semakin berkurang. Kelas-kelas dan bangsal yang mahal semakin banyak.

Dosen, peneliti di kampus, mahasiswa kedokteran, dokter adalah rantai pendidikan mahal yang melahirkan ekonomi kesehatan berbiaya tinggi.

Profesi menjadi dokter itu privelese anak orang kaya dan ambtenar, persis seratus tahun lalu di sekolah dokter STOVIA Batavia.  Satu dua yang mahasiswa pintar dapat beasiswa berkeadilan, dan itu pencitraan kampus.

Kini seolah wajar, sebagai “balasdendam” karena ekonomi tinggi sekolah dokter. Dokter lebih bekerja maksimal di rumah sakit swasta dan praktik rumahan, karena lebih dibayar mahal, dibanding  harus melayani pasien di rumah sakit umum. Anda bisa mencoba menemui sebagai pasien dokter yang sama di rumah sakit umum dan rumah sakit swasta. Betapa bedanya.

“Ono rego, ono rupo,” katanya. “Wajar dulu biaya sekolah dokter mahal.”

Di sebuah rumah sakit milik pemerintah daerah, saya pernah menemui ada gedung dan bangsal khusus pasien. Disini dokter rumah sakit negeri berpraktek dokter dengan tarif swasta. Konon pelayanan disini lebih cepat dan bagus tapi mahal, dari rumah sakit negara yang berada menaunginya. Demikian kata keluarga pasien berkata kepada saya.

Tapi bagaimanapun mudahnya kita menuduh lembaga keuangan dunia yang memberi resep liberalisasi pada pendidikan dan kesehatan?  Tentu yang paling salah ada pengelola negara ini. Kenapa mereka mau selamatkan sendiri kekuasaannya dan menggadaikan kedaulatan negara?

Dari sinilah penduduk dan warganegara telah dicerabut kewarganegaraanya. Mereka telah ditempatkan sebagai konsumen.

Jika penduduk atau warganegara sebagai warganegara, hubungan individu dengan negara adalah hubungan vertikal yang saling menguatkan. Warganegara menguatkan negara dengan pajak, taat hukum dsb. Negara menguatkan warganegara dengan rasa aman, jaminan sosial, dan fasilitas untuk warganegara menjadi sejahtera, sehat dan berpendidikan.

Jadi ketika warga diperlakukan sebagai warganegara, siapaun boleh sakit dan kuliah setinggi-tingginya. Semua dijamin pembiayaan oleh negara, modalnya cuman niat kuliah dan lolos seleksi. Anda cukup membayar pajak, taat hukum dsb. Anda tidak perlu takut ditahan rumahsakit karena tidak mampu tebus biaya dokter dan obat. Anda tidak perlu menjadi anak orang kaya untuk kuliah dan menjadi dokter.

Nah jika penduduk atau warga sebagai konsumen, peranan negara itu seminimal mungkin, peran swasta seluas mungkin, negara tidak memonopoli layanan publik seperti rumah sakit dan kesehatan, dengan begitu sektor swasta berkembang, negara pun tidak kehilangan subsidi dan anggaran belanja.

Disini hubungan yang ada adalah hubungan ekonomi. Siapun dia adalah subyek – obyek dalam sebuah pasar besar komoditas barang dan jasa. Setiap orang bisa mendapat pelayanan terbaik sejauh kemampuan ekonominya. Setiap orang bisa seenaknya pelayanan baik sejauh kemampuan ekonominya. Semua “orang bebas” dan “setara”, asal punya uang saja. Tangan-tangan Tuhan yang tersembunyi akan bergerak dengan sebaiknya dalam model ini. Negara tidak hadir disini selain menjaga ketertiban hukum.

Disini jelas perbedaan perlakuan dan hubungan negara, warganegara dan konsumen. Dalam konteks warganegara, barang, jasa dan hubungan yang berkaitan dengan hajat orang banyak di intevensi atau dikelola oleh negara. Tidak boleh terjadi komodifikasi pada barang, jasa yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Warganegara memperolehnya pun sebagai hak, bukan pembeli atau konsumen. Semua ini adalah milik publik dan dikelola oleh negara, kolektif, politik kewargaan. Persis sekali dalam cita-cita pendiri bangsa pada Pancasila dan Undang-undang.

Sebaliknya dalam konteks konsumen, barang, jasa dan hubungan yang berkaitan dengan hajat orang banyak ataupun tidak harus tanpa intervensi negara dan dikelola sepenuhnya oleh mekanisme pasar. Semua untuk kepentingan ekonomi, menumpuk laba, oleh siapa saja atau swasta. Pun mereka adalah konsumen yang terdiri atas individu yang mampu ekonomi.

Repotnya semua serba tanggung disini. Kapitalis tidak, komunitarian juga tidak. Banyak lembaga/ perusahaan seperti Telkom, PLN, Universitas Negeri, Rumah Sakit Negeri selain menyusahkan orang, layanan buruk, mencekik dan memonopoli seolah milik negara padahal swasta pseudo negara. Sudah bermodal dan dibangun dari uang rakyat, kalau memonopoli dalilnya untuk rakyat, kalau mencekik pembenarannya sudah privatisasi alias ada uang swasta, kalau buruk layanannya minta harap maklum subsidi negara kurang.

***
Saya pernah berharap, Indonesia akan menjadi bangsa yang sangat besar jika pendidikan dan kesehatan itu diperlakukan sebagai hak semua warga negara tanpa kecuali.

Pendidikan dan kesehatan sebagai hak warga negara itu manusia Indonesia diperlakukan sama dalam mengakses dan menikmati pendidikan. Tidak ada lagi biasa ekonomi/orang kaya, pintar, normal, Islam, orang kota dsb. Semua harus difasilitasi oleh negara biar pun dia seorang difabel, orang miskin, orang terpenjara, tidak pintar, gay, lesbi, dsb. Syaratnya cuman komitmen dan sungguh belajar, itu saja, negara harus membiayai penuh, tidak boleh universitas, sekolah yang menolak. Apalagi dosen memperlakukan beda!

Pendidikan dan kesehatan sebagai jasa, itu manusia Indonesia diperlakukan baik sejauh dia mampu secara ekonomi, kategori normal dsb. Hubungannya pun hanya hubungan pedagang informasi dan pembeli informasi, pemberi layanan kesehatan dan konsumen kesehatan. Persis yang terjadi dalam pendidkan dan kesehatan kita saat iti. Dan para penghianat itu adalah PTN alias Perguruan Tinggi Negeri, lulusan Fak Kedokteran Universitas Negeri, rumah sakit negara dsb sudah tanah, gedung, beasiswa peningkatan kapasitas, dsb itu dari dulu dibangun dari uang rakyat, pajak rakyat, APBN/APBD tapi kalau urusan terima-menerima mahasiswa/uang memperlakukan manusia Indonesia sebagai konsumen bukan warga negara.

***

Belum lama, para dokter berunjuk rasa. Para dokter merasa telah dikriminalkan. Semua orang mencibir unjukrasa mereka. Para pencibir berkata, “tidak perlu didukung, dokter dan rumah sakit itu monster!” Persis pada masa lalu, ketika banyak orang mencibir Kompeni atau juga Soeharto. Hanya mencibir, satu dua yang melawan. Yang dicibir, akhirnya terjatuh juga. Tapi itu butuh waktu 350 tahun dan 32 tahun.

Pertanyaannya, apakah Anda dan saya masih sabar menunggu dan hanya menjadi pencibir? Mari kita mulai kepedulian sesama dan kesadaran politik dari diri kita sendiri.

Karena warga negara itu bukan konsumen, kita harus melawan mencoba mengalihkan itu.  Siapapun itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline