Terpilihnya Pimpinan KPK bersamaan dengan persetujuan merevisi UU KPK yang mengkhianati jiwa reformasi, menunjukan kekuasaan oligarki hendak mengendalikan KPK.
Presiden Jokowi menyebut dirinya akan bekerja lebih maksimal dalam periode kedua pemerintahnya. Toh, ujar Jokowi, dirinya tak lagi memiliki beban dalam lima tahun ke depan. Ini karena ia tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai presiden.
"Keputusan-keputusan yang gila, keputusan yang miring-miring, yang itu penting untuk negara ini, akan kita kerjakan. Sekali lagi, karena saya sudah tidak memiliki beban apa-apa," ujar Jokowi dalam acara Halal Bihalal bersama aktivis 98 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta pada Ahad, 16 Juni 2019 (Tempo.co, 16/6/2019). Ucapan Beliau bernada serupa sudah beberapa kali diucapkannya di berbagai kesempatan sehingga patut kita cermati maknanya.
Namun, mengamati beberapa peristiwa dan kebijakan yang dilakukan Jokowi akhir-akhir ini, khususnya tentang KPK, menjadi pertanyaan, apakah Presiden Jokowi konsisten dengan ucapannya atau justru bermakna kontradiktif; sudah tidak lagi memiliki beban kepedulian pada amanat penderitaan rakyat karena tidak membutuhkan dukungan suaranya lagi. Karena kata-kata dan narasi sudah tidak bermakna untuk menilai lubuk hati Presiden Jokowi, maka kita hanya bisa menilai dari tanda-tanda kebijakan Presiden. Bagaimana kita memaknai tanda-tandanya?
Pemilihan Pimpinan KPK
Sejak awal pembentukannya bulan Mei lalu, integritas anggota Pansel KPK sudah diragukan oleh aktivis anti korupsi. Namun kritikan itu seperti angin lalu, Pansel KPK jalan terus tanpa perubaan susunan anggota beserta mekanisme kerjanya. Publik mendesak Presiden Jokowi agar menolak hasil kerja Pansel KPK, karena setidak-tidaknya satu diantaranya dicurigai memiliki rekam jejak meragukan integritasnya memimpin KPK.
Melansir Tempo.co (27/8/20119), nama tersebut adalah Firli Bahuri. Dia diduga melakukan pelanggaran etik karena melangsungkan pertemuan dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Zainul Majdi atau TGB Zainul Majdi. Pertemuan tersebut berlangsung saat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan itu menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, sementara TGB diduga terlibat dalam kasus korupsi dana divestasi Newmont Nusa Tenggara.
Presiden Jokowi tidak mendengarkan suara publik dengan tetap mengajukan 10 nama hasil kerja Pansel KPK ke DPR. Apa yang menjadi kekhawatiran publik, akhirnya terjadi. Dini hari Jumat 13 September, Komisi III DPR menetapkan 5 nama piihannya sebagai pimpinan KPK, bahkan Firli Bahuri secara aklamasi dipilih sebagai Ketua KPK 2019-2023. Nama lainnya adalah; Alexander Marwata, Komisioner KPK; Lili Pintauli Siregar, Advokat; Nawawi Pomolango, Hakim; dan Nurul Ghufron, Dosen.
Dari kronoligis sejak pemilihan anggota Pansel KPK oleh Presiden, hingga DPR memilih lima nama tersebut, patut diduga ada konspirasi jaringan politik kekuasaan telah menyiapkan nama-nama pemimpin KPK.
Seluruh proses dan mekanisme pemelihan Pimpinan KPK hanya formalitas melegitimasi kesepakatan-kesepakatan transaksional oligarki kekuasaan mengendalikan KPK. Kedua cabang kekuasaan negara, Presiden dan DPR, telah dikendalikan kekuatan politik oligarki.
Revisi Undang Undang KPK