Jangan harap anak Indonesia mampu memaknai literasi digital dunia maya dengan baik bila orang tua sendiri masih berkesadaran berpikir primitif zaman batu
Bagi anak-anak Indonesia, kehadiran teknologi informasi digital dunia maya yang berada dalam gengamannya sehari-hari sudah biasa saja, tidak takjub pada kecanggihan teknologinya, barang biasa yang sudah ada sejak mereka ada. Anak tak akan memahami bila orang tua mempersoalkan literasi digital yang digunakan pada barang itu, karena menganggapnya tidak ada persoalan dengan penggunaan barang itu, kecuali hal-hal sensitif seperti pornograpi.
Anak Indonesia adalah produk zaman, setiap zaman ada orangnya, setiap orang ada zamannya. Upaya menjauhkan apalagi melarang anak berhubungan dengan literasi digital adalah pekerjaan sia-sia, hanya menciptakan konflik anak dan orang tua. Lalu apakah orang tua membiarkan apa adanya, apa yang akan terjadi biarlah terjadi!
Karena sifat teknologi literasi digital yang sangat berbeda dengan literasi konvensional, seperti; media maya, kebebasan expresi pencipta/pengarang, setiap orang adalah pengarang dan pembaca, reproduksi tak terbatas, penyebaran luas tak terbatas, kecepatan mendekati real time, dan sebagainya, maka setidak-tidaknya ada dua persoalan hubungannya dengan pembentukan karakter anak-anak Indonesia.
Pertama, secara filosofis, terjadi perbedaan pemaknaan realita. Anak akan memaknai realita literasi digital dunia maya sebagai realita sesungguhnya. Padahal, realita di literasi digital dunia maya adalah hanya refleksi sebagian dari realita sesungguhnya. Realita sebagian itupun sudah mengalami pelarutan dengan ide-ide algoritma yang dibangun berbagai sistem yang menghidupinya. Singkatnya, realita digital di dunia maya bukanlah realita sesungguhnya.
Karakter anak-anak dibentuk berdasarkan nilai-nilai idealisme, moralitas, estetika, dari interaksi dengan realitas di kehidupan nyata. Perbedaan memahami makna realitas ini dapat menjadi masalah pembentukan jati diri anak-anak Indonesia. Apakah ini baik atau buruk? Bila nilai-nilai didunia maya tersebut lebih baik dari realita sesungguhnya di Indonesia, mungkin saja pembentukan karakter anak Indonesia justru menjadi lebih baik. Tapi tidak ada jaminan hal ini yang terjadi.
Kedua, lautan sampah informasi palsu media digital, disebut hoaks, dalam gengaman masyarakat Indonesia menjadi persoalan bagi anak-anak yang kesadaran berpikirnya masih proses pematangan. Sampah informasi palsu tidak dapat dihindari karena konskwensi dari perkembangan teknologi media digital dalam budaya global tanpa batas. Akibat dari kedua persoalan ini akan menjadikan karakter anak Indonesia menjadi buruk tak karuan, nilai-nilai idealsimenya, moralitasnya, dan etikanya jadi tak jelas. Bukan karakter budaya timur ataupun barat, 30 tahun kedepan akan nampak bentuknya.
Hanya akal sehat dan kesadaran berpikir ilmiah yang dapat memilah-milah informasi bermanfaat dari lautan sampah informasi palsu. Persoalannya adalah, kesadaran berpikir orang tua yang diharapkan mendidik anak, di Indonesia sebagian besar masih primitif, untuk tidak mengatakan masih seperti zaman batu.
Masyarakat negara maju, katakan seperti Eropa, melewati peradaban dari zaman primitif hingga era teknologi digital secara mulus berkesinambungan. Dalam teknologi informasipun proses penerapan teknologi elektronika analog berjalan mulus berkesinambungan menuju teknologi informasi digital.
Sementara di Indonesia, pengusaan dan penerapan teknologi informasi melompat-lompat dalam kesenjangan peradaban. Tingkat kesadaran berpikir rakyat Indonesia bervariasi dalam spektrum lebar, dimana pola kesadaran berpikir primitif zaman batu masih ada -mungkin lebih banyak- hingga berkebudayaan modern.
Dalam kesenjangan peradaban yang demikian, golongan kepentingan tertentu, katakanlah radikalisme agama, kepentingan bisnis, identitas SARA, pencitraan kharisma tokoh populer, akan mudah memanipulasi pikiran dan kesadaran anak-anak dan selanjutnya mengusai pikiran dan kesadaran manusia Indonesia. Lalu bagaimana melindungi dan mendidik Anak Indonesia?