Di balik keriuhan panggung utama politik menyikapi hasil pemilihan presiden yang secara konstitusional telah selesai, ada panggung kecil perebutan kursi anggota Badan Pemeriksa Keuangan, meskipun tak seramai panggung utama tapi tak kalah pentingnya. Sejumlah calon legislatif yang gagal dan juga mantan legislatif mencoba peruntungan di DPR, bukan lagi sebagai legislatif melainkan agar terpilih oleh legislatif. Inilah keunikan anggota BPK, dia dipilih DPR.
Masyarakat umum kurang mengenal sepak terjang BPK dalam mengawal uang negara dibandingkan dengan KPK yang cara dan hasil kerjanya dramatis dan sering tertayang di media ketika menangkap koruptor. BPK bekerja dalam senyap menelisik pertanggung jawaban penggunaan uang negara oleh Pemerintah dan BUMN. Dari sisi hirarki, BPK lebih tinggi dari KPK yang dapat dibubarkan Presiden bersama DPR, sedangkan BPK harus melalui amandemen konstitusi. BPK lembaga tua, hampir seumur dengan Republik Indonesia, berdiri tahun 1947, juga besar, jumlah pegawainya sekitar 4 kali lebih banyak dari KPK. Meskipun kewenangannya tak langsung dapat menjebloskan sesorang dalam penjara, tetapi sangat disegani dan ditakuti oleh seluruh penyelengaara negara, termasuk BUMN.
Banyak pengamat dan aktivis mengkritisi pemilihan anggota BPK yang unik dan tak lazim seperti pemilihan pimpinan KPK dan lembaga lainnya. Pemilihan anggota BPK sepenuhnya di DPR dengan pertimbangan dari DPD, Presiden hanya stempel peresmian. Karena proses pemilihannya oleh kawan-kawannya di DPR maka dikhawatirkan banyak mantan-mantan anggota legislatif yang terpilih.
Hasil kerja BPK juga dilaporkan ke DPR, maka seolah-olah BPK menjadi perpanjangan tangan lembaga politik. Banyak pengamat dan aktivis mengkhawatirkan pekerjaan BPK akan diintervensi kepentingan politik, tidak lagi independen menilai pertanggung jawaban keuangan Pemerintah.
Tetapi banyak anggota DPR dan juga politisi partai menyangkalnya, tidak mempersoalkan anggota BPK dari mantan legislatif atau dari manapun.
Pendapat pengamat dan aktivis tersebut masuk akal dan terbukti memang 9 anggota BPK terpilih selalu sejumlah tertentu dari politisi partai politik. Tetapi pendapat itu akan selalu mudah dipatahkan politisi dengan argumen bahwa hasil kerja BPK juga diserahkan untuk digunakan ke lembaga politik DPR, tentunya DPR harus mempercayai orang yang mengerjakannya, orang itu harus dipilih DPR.
Argumen kedua, lembaga politik DPR adalah perwakilan yang dipilih rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan mengawasi Pemerintah, oleh sebab itu menjadi kewajiban DPR mengawasi dan menilai pertanggung jawaban keuangan pemerintah, yang dikerjakan BPK dan diserahkan untuk digunakan ke DPR, maka anggota BPK harus dipilih oleh DPR. Jadi, substansi persoalannya bukan disitu.
Esensi persoalannya adalah kita "tidak mempercayai orang yang kita percayai". Rakyat tidak mempercayai anggota DPR yang dipilihnya untuk "dipercayai". Persoalan pemilihan anggota BPK adalah bagian dari persoalan demokrasi kita.
Sepanjaang hakekat persoalan ini tidak diselasaikan, jangan harap persoalan pemilihan anggota BPK dapat diselesaikan. Mengharap DPR merevisi Undang-Undang yang mengatur pemilihan anggota BPK, sama dengan mengharap mempercayai DPR.
Bahkan seandainyapun Undang-Undang itu direvisi sehingga pemilihan anggota BPK katakanlah sama dengan pemilihan pimpinan KPK, tetap saja ada persoalan bila hasil kerja BPK tidak mau digunakan DPR.
Banyak sekali persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara yang penampakannya sekilas dapat diatasi dengan merubah peraturan atau perundang-undangan tertentu.