Hari demi hari grasak grusuk elit politik mengatur strategi dan posisi dalam konfigurasi paling menguntungkan, sangat menarik diamati. Sebagian rakyat mungkin tidak perduli karena kewajiban konstitusionalnya untuk memilih telah selesai, lagi pula memikirkan beban hidup sehari-hari saja sudah sangat berat.
Tetapi demokrasi tidak berhenti di kotak suara, demokrasi juga harus mengelola kekuasaan. Prabowo belum selesai urusannya, meski Jokowi Presiden terpilih telah ditetapkan. Dan hingga hari, ucapan selamat dari Prabowo kepada Jokowi, sebagai tanda tulus mengakui kemenangan Jokowi belum terdengar.
anyak orang dari pendukung Jokowi maupun Prabowo menunggu harap-harap cemas kemana langkah Prabowo memposisikan diri, bergabung dalam koalisi Pemerintahan atau beroposisi. Demikian pentingkah posisi Prabowo?
Politik pemilihan presiden 2019 berbeda dengan periode-periode sebelumnya karena unsur politik identitas agama telah kental, bukan hanya saat kampanye tapi masih berlangsung hingga hari ini, dan tampaknya berlanjut hingga tahun 2024. Prabowo telah mencitrakan dirinya untuk didukung golongan paham idealis identitas agama. Meskipun tidak menang, tetapi hingga hari ini, golongan tersebut tetap mengharapkan Prabowo mempertahankan idealisme itu.
Hal ini strategis dalam menjaga momentum perjuangan hingga peristiwa politik tahun 2024. Golongan ini ada sebagian kecil dalam rumah partai Prabowo, Gerindra, tapi kebanyakan dari PKS dan simpatisan luar partai.
Golongan ini diperkirakan akan semakin kuat, dan dapat menentukan konstelasi politik tahun 2024. Posisi strategis ini juga dipahami dari sisi pribadi Jokowi dan partai pendukungnya, khususnya PDIP. Jadi dari kedua kubu, memahami posisi Prabowo memang strategis.
Di dalam partai rumahnya Prabowo, Gerindra, sebagian besar golongan oportunis yang ingin memanfaatkan semaksimal mungkin dari posisi strategis tersebut sebagai bargaining position dalam bernegosiasi ke Koalisi Pemerintahan Jokowi dengan harapan mendapatkan maksimal kursi jabatan dalam pemerintahan atau MPR.
Kedua golongan ini menjadi dilematis bagi Prabowo menentukan sikapnya, harus hati-hati dan penuh perhitungan. Inilah salah satu faktor penyebab hingga hari ini Prabowo belum menunjukan tanda-tanda hendak kemana.
Di sisi lain, di koalisi Pemerintahan Jokowi juga ada dua golongan kepentingan berbeda. Golongan pertama termasuk pribadinya Jokowi dan sebagian kecil tokoh PDIP, berkehendak merangkul seluruh rombongan Prabowo. Khususnya pribadi Jokowi, yang tidak memiliki beban berkuasa tahun 2024, lebih menguntungkan bila punya banyak kawan dari pada banyak musuh yang akan selalu "menggong-gongi" selama perjalanan pemerintahannya.
Sebagian kecil tokoh PDIP berpendapat, demi perjuangan partai kedepan, dengan merangkul Prabowo akan melemahkan politik identitas yang akan mereka hadapi tahun 2024.
Golongan kedua adalah terbesar, golongan oportunis, seluruh partai koalisi -kecuali PDIP- pengusung Jokowi menentang datangnya gerbong Prabowo ke koalisi pemerintahan. Golongan ini merasa terancan jatah kursi yang sudah di depan mata dengan masuknya rombongan Prabowo. Golongan ini sangat cerdik menutupi "akal bulus" nya menguatkan dasar pertimbangannya, bahwa demokrasi sehat bila Pemerintahan diiringi kehadiran oposisi yang kuat.