Mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen, dan eks Danjen Kopassus Mayjen (Purn) Soenarko terjerat kasus dugaan makar hingga kepemilikan senjata api ilegal terkait kasus kerusuhan 21-22 Mei 2019. Proses pro justisia sedang berlangsung di kepolisian. Disisi lain ada proses non justisia yang ditempuh Kivlan Zen.
Dilansir dari Kompas.com 12/6/2019, Tonin, Pengacara Kivlan Zen, mengakui telah mengirim surat ke Menhan, Menko Polhukam, Pangkostrad, Kastaf Kostrad dan Danjen Kopasus untuk meminta perlindungan hukum dan jaminan penangguhan di kepolisian. Tampaknya Kivlan Zen berupaya memanfaatkan ikatan jiwa korsa TNI untuk berlindung.
Salah satu karakter jiwa setiap anggota militer adalah jiwa korsa, yang dibentuk dan ditanamkan pada setiap prajurit sejak awal bergabung di kesatuan tentara hingga akhir hayat. Jiwa korsa dapat diartikan sebagai rasa hormat, kesetiaan, kesadaran dan semangat kebersamaan terhadap korps atau kesatuan. Jiwa korsa juga mengikat rasa senasib sepenanggungan, perasaan solidaritas, semangat persatuan dan kesatuan terhadap suatu korps. Purnawirawan TNI tidak lagi memiliki ikatan secara hukum dan administrasi dengan lembaga TNI atau dengan personil TNI aktif. Namun ikatan jiwa korsa mereka tidak pernah putus, ikatan bathin itu yang memelihara rasa hormat, kesetiaan, dan semangat kebersamaan, meskipun sudah purnawirawan.
Tapi ada nilai-nilai lain yang juga tertanam dalam setiap prajurit yaitu nasionalisme dan patriotisme. Nasionalime adalah kesadaran setiap prajurit mencintai bangsa dan negara secara aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, dan kekuatan dalam semangat kebangsaan. Sedangkan patriotisme merupakan sikap prajurit yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk tugas negara, kejayaan, dan persatuan bangsa dan negara.
Jiwa korsa lebih menitik beratkan kepada nilai-nilai yang mengikat prajurit dengan sesama prajurit dalam satu korps atau kesatuan. Sementara nasionalisme dan patriotisme adalah nilai-nilai yang mengikat antara prajurit dengan negara dan bangsa. Nasionalisme dan patriotisme menjiwai tugas dan fungsi TNI pada Negara dan bangsa Indonesia. Bagaimana bila terjadi konflik antara jiwa korsa dan jiwa nasionalisme-patriotisme?
Sejarah Indonesia mencatat bahwa selalu ada orang/kelompok yang tidak puas dengan keadaan atau karena berkehendak berkuasa, melakukan gerakan makar dengan melibatkan sebagian anggota TNI. Pada tahun 1956, pembrontakan PRRI-Permesta dengan kekuatan 10.000 tentara dari satuan-satuan militer Resimen IV/TT-I/Bukit Barisan di bawah komandan Letkol Achmad Husein, di bawah komandan Kolonel Mauluddin Simbolon, Tentara Territorium II di bawah pimpinan Letkol Barlian, dan lainnya, memberontak melawan Pemerintah Pusat.
Pemberontakan DI/TII di Aceh tahun 1953, ketika Daud Beureueh menyatakan Proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia. Di Sulawesi Selatan Tahun 1953, Kahar Muzakkar medeklarasikan NII sebagai reaksi terhadap banyaknya anggota tentara Kesatuan gerilya Sulawesi Selatan yang tidak diterima sebagai tentara RI. Ibnu Hajar, tentara pejuang kemerdekaan, juga menyatakan Propinsi Kalimantan Selatan sebagai bagain dari NII pada tahun 1950, kecewa karena dia dan beberapa tentara tidak diterima dalam Angkatan Perang Repubik Indonesia Serikat. Kolonel Untung dengan kekuatan 2.130 tentara dari berbagai kesatuan di Pulau Jawa pada tanggal 30 September 1965 mengadakan pembrontakan merebut kekuasaan dengan membunuh tujuh jenderal angkatan darat.
Seluruh gerakan bersenjata tersebut dibalas TNI dengan operasi penumpasan militer, semuanya dapat dipatahkan. TNI tidak pernah berkompromi dengan pembrontakan bersenjata, meskipun oleh kawan sendiri. Sebagimana diketahui, pembrontakan Kol.M.Simbolon ditumpas oleh Letkol Djamin Ginting yang merupakan wakilnya di Tentara Territorium I. Begitu juga Kol.Untung dan beberapa kesatuan dari Devisi Diponegoro pada pembrontakan G30S PKI adalah bawahan dan secara personal dikenal Soeharto saat menjadi Komandan Devisi di Semarang, bahkan Kol. Untung dikenal sangat dekat dengan Soeharto. Ketika menyangkut keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, jiwa korsa tidak berlaku. Bagaimana nasib prajurit-prajurit yang memberontak?
Hukuman Pemerintah berbeda-beda pada tiap peristiwa pemberontakan, tergantung tingkat perlawanannya dan pertimbangan politis. Pembrontakan Daud Beureueh, dan PRRI Permesta, oleh Presiden Soekarno diberi pengampunan (amnesti) dan tidak dituntut hukum (abolisi), pertimbangannya karena mereka menyerah dan mengingat jasa-jasanya terhadap berdirinya NKRI. Pada gerakan DI-TII di Jawa Barat, banyak tentara tewas karena tidak mau menyerah. Sedangkan pada G30S-PKI, seluruh tentara yang telibat, menyerah atau tidak menyerah, tidak ada satupun yang diampuni Soeharto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H