Istilah 'politik identitas' mulai populer ketika Pilgub DKI Jakarta tahun 2017, dan berlanjut hingga Pilpres 2019. Namun sekarang maknanya telah bergeser dan keliru, politik identitas dimaknai praktek mengkampanyekan sentimen ke'Islaman untuk mempengaruhi pikiran dan kesadaran umat Islam bahwa memilih/mendukung kubu Prabowo-Sandi adalah sesuai dengan penegakan nilai-nilai Islam sejati.
Identitas adalah jati diri yang disandang sesorang atau segolongan untuk menunjukan dirinya atau membedakan dirinya dengan yang lainnya. Jati diri tersebut dapat berupa: warna kulit, bahasa, keaslian daerah asal, suku, ras, etnis, agama atau keyakinan, bangsa, dan negara.
Politik identitas adalah memperoleh kekuasaan dan atau mempertahankan kekuasan dengan cara mempengaruhi kesadaran dan pikiran orang/golongan pada jati dirinya dan bagaimana seharusnya bersikap dengan jati-diri tersebut.
Politik identitas sering juga disebut primordialisme, secara umum pengertiannya mirip, tapi lebih menekankan identitas suku, bahasa, ras, dan etnis. Nasionalisme dan Separatisme bagian dari politik identitas, dimana identitas kebangsaan dan negara ingin dipisahkan oleh separatisme
Pada Pilgub DKI Jakarta 2017, Ahok (Basuki Purnama) yang beragama Kristen bertarung dengan Anis Baswedan yang beragama Islam. Dalam pertarungan tersebut, isu-isu sentimen keagamaan dalam hal ini ucapan Ahok yang dianggap menghina umat Islam dikampanyekan untuk mempengaruhi kesadaran dan pikiran warga DKI Jakarta pada jati dirinya sebagai umat Islam dan seharusnya menolak Ahok dan memilih Anis Baswedan sebagai Pemimpin. Strategi tersebut berhasil, Ahok kalah. Dalam hal ini makna 'politik identitas' masih tepat karena Islam digunakan sebagai identitas.
Pada Pilpres 2019, pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin bertarung dengan pasangan Prabowo-Sandi. Kedua pasangan tersebut seluruhnya beragama Islam. Bukan sentimen Islam vs non Islam yang dipolitisir sehingga istilah 'politik identitas' sudah bergeser, dan maknanya menjad keliru. Bahwa golongan Islam garis keras mempolitisir umat Islam untuk menolak kubu Jokowi adalah fakta, tapi bukan karena Jokowi-Ma'ruf Amin beragama Kristen atau bukan Islam. Dalam hal ini berbeda dengan Ahok pada Pilgub DKI Jakarta 201. Jadi keliru bila disebut politik identitas.
Politik identitas sangat ampuh untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan melalui kesadaran dan pikiran rakyat. Bukan hanya lewat jalan damai dan demokrasi, bahkan sentimen identitas menjadi jiwa militansi merebut kekuasaan dengan kekerasan. Sejarah mencatat banyak dan sering kekuasaan direbut dan atau dipertahankan dengan politik identitas.
Contoh paling terkenal adalah Partai Nazi di Jerman, ketika itu identitas ras dan bangsa Jerman digunakan Hitler untuk merebut hati rakyat Jerman, bahkan dengan kekuatan identitas jati diri bangsa Jerman, Hitler berkehendak menguasai Dunia. Politik apartheid adalah politik identitas yang di praktekkan penguasa Afrika Selatan yang berkulit putih.
Kekuasaan dilaksanakan berdasarkan kelas perbedaan warna kulit, kulit putih (Eropa), kulit berwarna (Asia) dan kulit hitam (Afrika). Apartheid berakhir pada tahun 1990, karena kecaman Dunia. India adalah contoh negara yang politisinya sering menggunakan identitas Hindu dan Islam sebagai pemikat memperoleh suara rakyat.
Di Indonesia politik identitas bukan hal yang baru, identitas nasionalisme, agama, dan ras atau kedaerahan, telah dipraktekkan sejak pemilu pertama tahun 1955, yang diakui sebagai pemilu paling demokratis. Politik primordialisme umum dipraktekkan pada pemilihan kepala daerah dengan mempolitisir sentimen identitas ras, suku, etnis, dan bahasa. Akhir-akhir ini sentimen agama juga diexploitasi pada Pilkada dan Pileg dan terbukti efektif, ke depannya diprediksi akan lebih intensif dan lebih luas diterapkan.
Pada umumnya, bangsa-negara dimana tingkat peradabannya masih rendah, dan ideologi kebangsaanya belum mantap, maka politik identitas sangat efektif digunakan merebut/mempertahankan kekuasaan. Ada beberapa paham kekuasaan yang bukan berdasarkan politik identitas, diantaranya yang utama adalah liberalisme kapitalisme, komunisme, dan negara agama.