Pengertian Islam garis keras di tulisan ini secara umum adalah sama dengan pendapat Makfud MD yaitu Islam yang "sikap kokoh, tidak mau berkompromi dengan pandangan yang dianggapnya tidak sejalan dengan prinsipnya", termasuk bagian Islam non tradisional secara umum. Sementara itu ada juga terminologi Islam Radikal, Islam Fundamental, Islam Militan, dan lain sebaginya, maknanya lebih kurang sama.
Sebutan Islam Tradisonal secara umum merujuk kepada Islam yang paling banyak pemeluknya di Indonesia dari dahulu, pengikut NU adalah bagiannya. Artikel ini lebih dipahami bila membaca artikel "Indonesia, Awas Radikalisme" dari penulis tgl 8 Juni 2019, karena analisanya terkait, oleh sebab itu dianggap satu kesatuan dalam menarik kesimpulan.
Pilpres 2019 sangat berbeda dari 2014, Pada Pilpres 2019 ada upaya mempolarisasi rakyat Indonesia ke dua kutub dengan sentimen identitas agama.
Upaya para perancang polarisasi ini berhasil, meskipun kalah. Menang dalam pertempuran tapi kalah perang. Uji coba melalui strategi polarisasi sentimen identitas agama telah menunjukkan keberhasilannya pada Pilgub DKI 2017 dan Pemilihan Presiden 2019. Sangat masuk akal bila peristiwa politik 2024, strategi polarisasi akan diulang dengan kekuatan menentukan. Mengapa strategi polarisasi ini dikatakan berhasil?
Koalisi pengusung Prabowo-Hatta Rajasa pada Pilpres 2014 ada enam partai, Gerindra, PKS, PAN, Golkar, PPP, PBB. Jumlah suara yang diperoleh adalah 46,85 persen. Pada Pilpres 2019 komposisi koalisi pengusung Prabowo-Sandi, Gerindra, PKS, PAN, Partai Demokrat. Golkar, PPP, dan PBB berbalik arah. Perolehan suara, selisih dengan Pilpres 2014 adalah 2.35 persen.
Dengan keluarnya Golkar, PPP dan PKB dari koalisi pendukung Prabowo, seharusnya perolehan suara Prabowo-Sandi lebih rendah dari 44.50 persen, apalagi Golkar sebagai pemenang kedua di Pileg 2019. Ada tambahan suara yang signifikan menggantikan suara dari Golkar, PPP, dan PBB.
Presiden inkumben/petahana memiliki berbagai keuntungan dalam memenagkan pilpres periode kedua. Di Indonesia, SBY memperoleh kemenangan suara lebih 60 persen pada periode keduanya, dibanyak pemilihan presiden di berbagai negara juga menunjukan angka kisaran kemenangan 60-70 persen. Perolehan suara Jokowi pada Pileg 2019 tidak signifikan dari yang seharusnya diperoleh Presiden petahana, hanya 55,5 persen, selisih 2.35 persen dari Pilpres 2014.
Tipisnya perbedaan perolehan suara pada Pilpres 2019, adalah salah satu efek dari keberhasilan strategi polarisasi sentimen identitas agama oleh kubu Prabowo, khususnya PKS yang ditenggarai paling gigih dan efektif mengerakkan kadernya hingga ke akar rumput. Peroleh suara PKS konsisiten meningkat setiap Pileg, tahun 2019 sekitar 9 persen, meningkat signifikan dari periode sebelumnya 6,79 persen pada Pileg 2014.
Konstelasi partai politik tahun 2024 tak'kan jauh berbeda dengan komposisi dua kubu pada Pilpres 2019. Partai paling setia bersama Gerindra adalah PKS, karena hanya Gerinda paling nyaman diboncengi visi misi PKS, sedangkan PAN setia sedang, dan Partai Demokrat tergantung musim dan arah angin.
PKS berkeras hati berseberangan dengan PDIP, siapapun yang didukung PDIP maka PKS kebalikannya. Di pihak lain, PDIP partai besar, pemenang Pilpres dan Pileg 2019, akan mempersiapkan penganti Jokowi dan mencari kawan koalisi. Kawan setia PDIP adalah PKB, dan terutama Nasdem sudah seia-sehati dengan PDIP. Golkar tergantung, biasanya pandai melihat musim dan arah angin.
Dari konstelasi tersebut dapat diprediksi Pemilu tahun 2024, kombinasi koalisi adalah (PDIP-Nasdem-PKB) dan (Gerindra-PKS-PAN), lainnya dipaksa memilih ke dua kubu koalisi. Tidak terlampau jauh berbeda dengan Pilpres 2014. Secara ideologi partai, pertarungan Pilpres 2024 adalah pertarungan PDIP versus PKS.