Lihat ke Halaman Asli

(Unik & Nyata) Surat Cinta di Atas Kuburan

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Petik satu bunga buat ibumu untuk ia terima dengan TANGANnya, meski bukan bunga yang terindah, karena itu akan jauh lebih indah dibandingkan bunga terindah yang hanya dapat ia terima dengan NISANnya.”

Masa program KKN (Kuliah Kerja Nyata) guna menyelesaikan studi S.1 saya di Perguruan Tinggi, ada kejadian unik sekaligus haru yang saya alami di tempat KKN. Iseng-iseng saya melirik ke pekuburan di pinggir jalan raya yang saya lewati menuju kantor desa. Hati saya sedikit tertawa melihat disana ada satu makam yang bertabur bunga di atasnya. Itu menjadi lucu karena setahu saya di tempat itu, orang-orang yang berziarah akan memakai daun pandan yang diiris kecil-kecil bukan bunga untuk ditabur. Tapi lucunya segera berganti haru saat keisengan saya menjadii-jadi untuk membuka surat yang ada di samping bunga-bunga itu. Saya berpikir bahwa itu surat cinta, nyatanya  isi suratnya seperti ini ...

Hari itu, hujan sangat lebat mengguyur langkahku dan ibu pulang dari kebun. Kita berdua berlari sekuat tenaga, meski yang kurasakan adalah sangat capek tapi tetap kupercepat langkahku, ibupun demikian. Di tengah jalan kudengar ibu memanggil ,

“Nak, tolong petikkan satu tangkai bunga itu. Ini pertama kalinya ibu melihat bunga seperti itu. Ibu mau tanam di depan rumah. Tapi ibu tidak bisa memetik tangkainya sendiri karena barang yang ibu bawa terlalu banyak”.

Namun karena hujan yang makin lebat, saya menjadi malas ,
“Nanti saja, bu. Biar saya belikan kalo besok saya jadi berangkat kuliah di kota. Di kota banyak bunga seperti itu. Lagipula itu di pekarangan orang, Bu!” Jawabku, meski saya tahu rumah itu tidak lagi berpenghuni.

Akhirnya saya tiba lebih cepat sepuluh menit di banding ibu, padahal setahu saya tadinya kita beriringan.

“Kenapa lama sekali, Bu??”tanyaku.
“Maklumlah, ibu sudah tua, nak.”jawab ibu sambil senyum.

Saya masuk ke kamar mandi namun masih sempat kulihat ibu menyiapkan sebuah cangkul dan sekantung kotoran sapi, nampak ingin menanam sesuatu.

Keesokan harinya, saya berangkat kuliah di kota meski ibu sakit, dan saya tidak sempat melihat apa yang ibu tanam di pekarangan rumah.

Tepat 3 tahun 6 bulan setelah hari itu, kulihat bunga yang indah seperti bunga hari itu, dipekarangan kita, bu.

Kali ini, kupetikkan untuk ibu, karena kutahu ibu tak mungkin memetiknya sendiri. Saya sangat ingin ibu menerima hasil petikanku dengan tangan ibu sendiri. Tapi hari ini, hanya nisan ibu yang mampu menerimanya. Maafkan aku, ibu.

SIAPAPUN PENGIRIM SURAT ITU, SEMOGA BUKAN KOMPASIANER.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline