Lihat ke Halaman Asli

Subagyo

Advokat

Orang Jajahan Medsos Kok Sombong

Diperbarui: 3 Juni 2017   15:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

milanuncios.com

Ini merupakan jaman di mana manusia semakin pintar tapi semakin liar. Banyak orang pintar tak punya unggah-ungguh dalam komunikasi. Meskipun mereka diberikan pendidikan tentang asas praduga baik kepada setiap orang sebagai nilai universal, tapi mereka suka berpesta-pora dengan informasi gosip, seolah-olah mencela dan mencaci serta merendahkan orang lain dengan bahan berita adalah kebutuhan hidup dan kebanggaan mereka. Jadi, menurut teori ekonomi konvensional, kebutuhan dasar manusia adalah sandang, pangan dan papan. Sekarang nampaknya kebutuhan dasar itu bertambah satu, yakni berpesta gosip. Jika tak update kalimat gosip sehari saja di medosnya, mereka kejang-kejang psikologis, hidupnya hampa-ria.

Setidaknya ada tiga tokoh manusia masa lalu yang telah mengetahui bagaimana kebobrokan akhlak manusia di masa kini dan masa depan.

Pertama, di jazirah Arab jaman dahulu, Nabi Muhammad di sekitar abad ke-7 sudah memberikan isyarat, kata beliau umat terbaik itu di masa Nabi Muhammad, lalu di masa sesudahnya, lalu di masa sesudahnya lagi. Jadi teorinya adalah teori futuristik tentang kebobrokan akhlak secara progresif. Main tua jaman makin rusaklah akhlak manusia.

Kedua, apa yang dikatakan oleh Nabi Muhammad itu sekitar 11 abad kemudian, yakni di abad ke-18 (tahun 1749), ditegaskan oleh Rousseau, filsuf Perancis, dia mengatakan, “Dalam sejarah, kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan berbarengan dengan kemunduran kesopanan dan akhlak.” Jadi, benar bahwa manusia semakin maju kebudayaannya tapi juga makin rusak kesopanan dan akhlaknya. Kebobrokan progresif.

Ketiga, di abad ke-19 tanah Jawa ada pujangga tenar bernama Bagus Burhan alias Ronggo Warsito yang mengarang Serat Kalatida yang berisi kenyataan zaman gila (kala tida) di mana manusia jaman kalatida adalah manusia edan yang menyebabkan jaman edan. Pada jaman edan, para manusia serba merasa susah menentukan dirinya dalam posisi di mana. Jika ikut edan bisa tak tahan, tapi kalau tak ikut edan maka bisa kelaparan.

Lapar di sini bukan cuma lapar ekonomi, tapi juga lapar kebanggan, lapar pujian, kelaparan karena energinya terkuras oleh ambisi-ambisi atau nafsu eksistensi diri. Maka itu mengingatkan pada teori Abraham Maslow tentang hierarki kebutuhan manusia yang di dalamnya terdapat kebutuhan untuk dihargai dan pamer diri.

Di jaman sekarang, aktualisasi dan penghargaan dicari dengan menjadi pahlawan gosip di medsos. Kalau berhasil menjatuhkan martabat seseorang yang oleh kelompoknya dinilai sebagai musuh, maka mereka menepuk dada dengan bangga. Tapi negara ini adalah negara Pancasila yang menurut  Muh. Yamin Pancasila itu sistem filsafat dialektik ala neo-hegelian. Apa bisa Pancasila menjadi dasar sikap dan perilaku saling ber-antitesis secara abadi?

Kalau ada orang menilai sesama anak bangsanya sendiri sebagai musuh, orangnyalah yang dimusuhi, bukan perilakunya, apakah orang demikian Pancasilais? Ketidakbaikan tidak bisa dinilai sebagai kebaikan, tapi orang tidak baik bisa berubah menjadi baik, dan setiap perbuatan buruk akan mendapatkan hukumannya. Tapi yang sungguh sulit terjadi adalah menyadari keburukan diri-sendiri.

Tanggung Jawab Tuan Kontrakan/Kos Medsos

Di hari lahir Pancasila 1 Juni 2017 ini (Pancasila sebagai Dasar Negara termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945, kok dianggap lahir tanggal 1 Juni?), banyak orang di medsos memasang slogan “Aku Pancasila!” Ya silahkan saja, meskipun itu seperti saya muslim yang sombong berkata di depan Pak Modin, “Saya Alquran!”

Saya pastinya tidak mampu untuk menjadi manusia Pancasila 100 persen. Kalau mau berPancasila, membangun ekonomi negara harus mandiri. Kalau membaca pemikiran Muh. Hatta sebagai arsitek ekonomi konstitutif Indonesia, lebih baik kita miskin bersama daripada menggadaikan kedaulatan ekonomi negara. Utang oleh negara dan penanaman modal asing itu disifati sementara. Sementara tak mampu menjadi 100 persen Pancasila. Kalau sudah mampu berdikari, barulah menjadi Pancasila 100 persen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline