Lihat ke Halaman Asli

Subagyo

Advokat

Al-Maidah: 51 dalam Pandangan Johan Galtung

Diperbarui: 9 Oktober 2016   00:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Bapak Ibu dibodohi pakai Almaidah ayat 51!” kata Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sang Gubernur DKI Jakarta, untuk menanggapi sikap kelompok muslim tertentu yang menolak orang non-muslim sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ahok itu beragama Kristen, tapi suatu saat Ahok juga berkata, “Ajaran Kristen itu konyol, sebab memastikan orang Kristen masuk surga. Kalau ajaran Islam itu realistis, masih menimbang-nimbang dosa dan pahala.”

Sebagian umat Islam tersinggung sehingga marah kepada Ahok. Tetapi saya belum melihat gelagat orang-orang Kristen yang marah dengan ledekan Ahok bahwa ajaran Kristen itu konyol. Saya sendiri sebagai seorang muslim tidak terpengaruh oleh semangat ghirah (cemburu karena agama) ala Buya Hamka yang disebarkan di medsos untuk menanggapi Ahok. Tapi saya juga tidak menganggap Ahok benar dalam hal itu. Oleh karena itulah saya menuliskan ini. Daripada harus saling lapor polisi, itu terlalu lebai. Tapi ya silahkan saja, daripada dilakukan kekerasan fisik ya malah tidak sehat.

Saya hanya mengingatkan, politik itu banyak terdapat fakta yang berada di balik informasi-informasi yang disuguhkan dan kita ketahui. Emha Ainun Nadjib pernah berkata bahwa Ahok itu hanyalah peluru, yang kita tidak tahu siapa yang memegang senapannya. Semua serba mungkin.

Dalam politik, orang yang tampak menyerang seseorang tokoh politik, tidak bisa buru-buru dikatakan sebagai musuh atau lawan dari tokoh yang diserang itu. Siasat yang sangat kuno masih tetap digunakan. Cara-cara yang disarankan Machiavelli atau yang digunakan Ken Arok, Wijaya, Hadiwijaya ataupun Sutawijaya.

Ada kegiatan-kegiatan dalam ruang-ruang politik yang berada dalam kegelapan pandangan, sehingga tidak dapat kita lihat, tetapi justru di situlah skenario disusun dengan rapi dan cermat. Apalagi ini jaman globalisasi di mana hampir semua pemerintahan negara tidak lepas dari kendali para penguasa kapital. Kita seperti melihat tontonan wayang orang dalam kegelapan, di mana hanya panggung pertunjukan yang diberikan cahaya, tetapi sang dalang tak pernah bisa kita kenali.

Apa salahnya muslim memilih muslim?

Baiklah. Sekarang saya akan menuju pada soal cara kita memilih pemimpin. Saya sepakat bahwa memilih pemimpin itu (pemimpin formil ataupun nonformil) hendaknya didasari pada kualitas, terutama bagaimana pemimpin itu bisa menjadi pelindung dan pelayan yang baik. Alangkah lebih idealnya jika kita melepaskan diri dari pertimbangan ide-ide dan emosi kolektif, baik kolektivitas itu dalam bentuk suku, agama, ideologi atau bentuk-bentuk kolektivitas lainnya. Tetapi apa semudah itu?

Perlu kiranya terlebih dulu saya menjawab pertanyaan: “Ada apa dengan Alquran surat Almaidah ayat 51 yang memerintahkan agar orang Islam memilih auliyaa’ (wali, pemimpin, orang kepercayaan) dari kalangan muslim sendiri, terutama dalam konteks urusan publik? Apakah memang Islam itu agama yang mengajarkan untuk memusuhi golongan atau kolektivitas lainnya?”

Saya bukan ahli tafsir, sehingga saya tidak berani mengatakan bahwa orang-orang Islam yang menyerukan agar umat Islam memilih pemimpin dari kalangan orang Islam sendiri, adalah orang-orang bodoh. Mana berani saya mengatakan bahwa orang-orang yang mengikuti pendapat ahli tafsir Ibnu Katsir atau Quraish Shihab adalah orang-orang bodoh, sementara ilmu tafsir saya mungkin hanya sebiji kerikil dibandingkan dengan gunung ilmu tafsir yang dimiliki oleh para ahli tafsir Alquran itu?

Oleh karena saya bukan ahli tafsir, maka saya membuka sebuah Kitab Asbabun Nuzul karya K.H. Qamaruddin Shaleh. Dalam kitab tersebut dijelaskan sebab turunnya (asbabun nuzul) Almaidah ayat 51, sebagaimana dikisahkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Al-Baihaqi, yang bersumber dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit. Pada jaman Nabi Muhammad pernah dilakukan perjanjian damai (untuk saling membela) antara umat Islam Madinah dengan umat Yahudi Bani Qainuqa’ yang diwakili para pemimpin masing-masing. Warga Islam diwakili oleh Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh muslim Madinah yang dikenal munafik) dan ‘Ubadah bin Ash-Shamit pemimpin Islam Bani Auf bin Khazraj. Singkat cerita, kemudian kaum Yahudi Bani Qainuqa’ menyerang memerangi Nabi Muhamamad, sehingga ‘Ubadah bin Ash-Shamit melepaskan diri dari perjanjian damainya dengan Yahudi Bani Qainuqa’ dan memihak Nabi Muhammad selaku pemimpin umat Islam. Tetapi Abdullah bin Ubay bin Salul tidak mau bergabung dengan Nabi Muhammad.

Jadi – berdasarkan kisah tersebut - pertanyaannya begini: Jika Abdullah bin Ubay itu menganggap Nabi Muhammad sebagai pemimpinnya, mengapa dia kok tidak memihak kepada Nabi Muhammad yang diserang kaum Yahudi itu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline