Di zaman Hindia Belanda, para advokat mempunyai sumbangan dan peran terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka diantaranya adalah Alisastroamidjojo, Mohammad Roem, Singgih, Sastro Moeljono, Besar Mertokoesoemo, dan Soedjoedi. Setelah Indonesia merdeka, mereka memegang jabatan penting di pemerintahan baru.
Selama usaha perjuangan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia sejak tahun 1945, peran para advokat tidak menonjol. Para sarjana hukum Indonesia banyak membantu dalam penyusunan eksperimen-eksperimen hukum tata negara, di mana pernah diberlakukan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949, Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, hingga tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden Soekarno untuk kembali pada UUD 1945.
Di tahun 1959 itulah, dalam catatan Lasdin Wlas (1989), terdapat kelompok advokat dari Jawa Tengah yang mendirikan organisasi advokat bernama BALIE Jawa Tengah di Semarang, yang diketuai Soejoedi dengan para anggotanya antara lain Kho Swan Sik, Kho Tjay Sing, Abdoelmadjid, Tan Siang Hien, Tan Siang Sui dan Tan Kie Tjong. Setelah itu di daerah-daerah lainnya berkembang perkumpulan-perkumpulan advokat di Jakarta, Medan, Bandung dan Surabaya.
Tahun 1963 mulai dicetuskan berdirinya organisasi advokat yang bersifat nasional, yakni Persatuan Advokat Indonesia yang disingkat PAI, diketuai oleh Loekman Wiriadinata (mantan Menteri Kehakiman). Di situlah muncul anggotanya bernama Yap Thiem Hien yang legendaries itu. Dalam pendirian PAI tersebut terdapat perwakilan para advokat dari Surabaya, Jakarta, Bandung, Solo, Pontianak dan Medan.
Selanjutnya para pengurus PAI banyak membantu negara dalam menyusun rancangan undang-undang tentang pengadilan dan peradilan di Indonesia. Nama organisasi Persatuan Advokat Indonesia yang tadinya disingkat PAI tersebut pada tanggal 30 Agustus 1964 diubah menjadi Peradin sebagai wadah tunggal para advokat di seluruh Indonesia.
Peradin banyak memberikan sumbangan pemikiran kepada negara, terutama dalam soal hak asasi manusia (HAM), membangun sistem hukum, termasuk hukum tata negara dan sistem peradilan modern yang menjamin keadilan bagi masyarakat, dalam berbagai memorandum kepada MPR, DPR, Pemerintah, MA, dan Kejaksaan.
Pada sekitar tahun 1978, dengan kian banyaknya jumlah advokat, terutama terkonsenstrasi di Jakarta, maka mulai tumbuh bibit perpecahan. Di Jakarta mulai berdiri Pusat Bantuan Pengabdian Hukum Indonesia (Pusbadhi), Himpunan Penasihat Hukum Indonesia (HPHI) dan beberapa lembaga-lembaga bantuan hukum.
Tahun 1982 berdiri Kesatuan Advokat Indonesia yang dimotori RO Tambunan yang semula memelopori pendirian Pusbadhi tersebut. Dengan demikian, Peradin yang semula menjadi wadah tunggal para advokat maka sejak itu persatuan para advokat telah tercabik bubar.
Pada tahun 1984, Menteri Kehakiman Ali Said berusaha menjembatani persatuan para advokat agar Kesatuan Advokat Indonesia melakukan ikrar bersama para advokat tanggal 17 Pebruari 1984.
Selanjutnya Kesatuan Advokat Indonesia pada tanggal 3 September 1984 mengeluarkan edaran untuk menyelenggarakan musyawarah nasional advokat guna membentuk wadah tunggal advokat. Gagasan tersebut didukung Peradin. Tanggal 10 Nopember 1985 terbentuklah wadah tunggal para advokat yang diberikan nama Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin).
Namun, ternyata Ikadin juga tidak mampu bertahan sebagai wadah tunggal advokat. Setelah Rapat Kerja Ikadin 1990 ternyata Ikadin juga pecah sehingga terbentuk Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) yang dimotori kelompok Gani Djemat.
Selain terbentuk AAI, juga terbentuk Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI). Uniknya, setelah Ikadin terpecah menjadi Ikadin, AAI dan IPHI, justru mereka mampu duduk bersama untuk menyusun unifikasi Kode Etik bersama yang diberlakukan pada para advokat anggota tiga organisasi tersebut. Pertimbangannya adalah terkait dengan kepentingan organisasi tentang bagaimana jika terdapat anggota yang berpindah dari satu organisasi ke organisasi lainnya karena anggota tersebut sedang menghindari sanksi menurut kode etik di organisasinya semula. Usaha itu dilakukan di tahun 1990 – 1995.
Bahkan tahun 1996 ketiga organisasi tersebut berhasil menyepakati pembentukan Forum Komunikasi Advokat Indonesia (FKAI) sebagai wadah komunikasi, pembinaan profesi dan perjuangan bersama penyusunan Rencangan Undang-Undang (RUU) Advokat.
Di luar ketiga organisasi advokat tersebut masih ada lima organisasi advokat lainnya, yaitu Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKPM), Serikat Pencara Indonesia (SPI) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Jadi ada sekitar delapan organisasi advokat. Namun di luar itu ternyata juga terdapat APHI (Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia).
Tahun 2003 diundangkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) yang mengamanatkan adanya wadah tunggal advokat. Selanjutnya delapan organisasi advokat tersebut duduk bersama membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI). KKAI tersebut selanjutnya membentuk Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Namun di tahun 2008 Peradi terbelah sehingga dibentuk Kongres Advokat Indonesia (KAI).
Di bulan Maret 2015 ini Peradi mengadakan musyawarah nasional (Munas) II di Makassar yang menghasilkan perpecahan Peradi kembali dengan munculnya tiga kubu. Kubu pertama terbentuk setelah Ketua Umum DPN Peradi, Otto Hasibuan memutuskan Munas II ditunda paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan. Kubu Otto mengklaim didukung 48 DPC dari 57 DPC yang hadir. Sedangkan kubu kedua adalah Juniver Girsang mengklaim Juniver terpilih sebagai Ketua Umum Peradi secara aklamasi mengantongi suara 32 DPC. Kubu ketiga adalah Luhut MP Pengaribuan yang mengaku didukung oleh 34 DPC.
Lalu bagaimana?
Pertikaian kaum advokat yang kesulitan mempertahankan wadah tunggal dapat diselidiki motif-motif dalam sejarahnya dan sekaligus dapat disusun solusi pembangunan hukumnya. Pertikaian itu sebenarnya tidaklah semata-mata pada persoalan keiangkaran terhadap rule of game, tapi juga menyangkut ambisi para pengusaha alias pedagang jasa hukum itu.
Tak dapat dipungkiri bahwa organisasi advokat selain mengurus uang milaran rupiah yang dipungut dari para anggotanya dan kemungkinan dana bantuan hukum dari negara, juga terdapat faktor prestise jabatan dalam organisasi advokat. Para pengurus organisasi advokat, terutama ketua umumnya akan lebih mudah dalam akses kepada para pajabat negara dan hal itu lebih mempermudah dalam membantunya menjalankan pekerjaan di bidang jasa hukum tersebut.
Pada akhir-akhir ini, sejarah perjuangan oganisasi advokat bagi pembangunan hukum negara tampak kendor dan tak terdengar lagi gaungnya. Zaman dahulu profesi advokat menjadi benteng hukum dan demokrasi, sampai-sampai Shakespeare mengatakan, “Bunuhlah semua pengacara jika ingin mengubah negara demokratis menjadi negara totaliter!” Tapi mungkin hal itu di Indonesia sudah kurang relevan. Mungkin arwah Shakespeare justru berkata, “Bunuhlah semua advokat jika ingin mengurangi keruwetan negara!”
Melihat kenyataan tersebut maka sebaiknya undang-undang advokat tidak perlu mewajibkan lagi para advokat untuk berwadah tunggal. Belajar dari sejarah perpecahan kaum advokat yang telah terjadi, lebih baik para advokat diberikan kebebasan mendirikan organisasi advokat dengan syarat-syarat khusus. Seluruh organisasi advokat diwajibkan menyusun kode etik bersama dalam suatu forum bersama, ditegakkan bersama.
Itupun masih akan terjadi kenyataan bahwa di masing-masing organisasi advokat itu juga akan terjadi perpecahan. Ada baiknya jika undang-undang advokat yang baru nanti memberi wadah hukum khusus bagi advokat yang berselisih dalam urusan organisasi berupa pengadilan sengketa advokat yang ditangani oleh pengadilan umum (Pengadilan Negeri) dengan acara singkat meski hakimnya tetap berupa majelis. Tentu saja itu hanya akan menambah repot negara saja! Memuakkan apa nggak itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H