Lihat ke Halaman Asli

Jangan Bunuh Saya karena Berbeda

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12979133621644052180

Apa rasanya menjadi terasing? menjadi individu yang berbeda dalam sekelompok mayoritas? Apakah kita akan mati sia-sia?

[caption id="attachment_90422" align="aligncenter" width="640" caption="(ilustrasi) orang-orang shiah merangkak menuju makam imam"][/caption] Beberapa tahun yang lalu, internet membuka pintu-pintu rahasia untuk saya. Pintu-pintu itu seperti pintu ajaib, mereka terbuka ke tempat-tempat yang saya inginkan. Ketika terbuka, berjuta-juta gambar dan kata menjelma. Ya,  seperti istana gula-gula dan saya hanya seorang anak kecil dengan mulut ternganga-nganga ingin mencicipi segala sesuatunya.  Saya seperti orang yang tahu segalanya hanya dengan satu klik di ujung jari dan pintu keajaiban terbuka dengan sendirinya.  Dan tidak hanya saya, berjuta-juta anak manusia memiliki pengalaman yang sama dan sampai pada satu titik mereka yang membuka pintu-pintu ajaib itu akan bertemu takdirnya, bertemu satu dengan lainnya. Ya, dan hari itu kami bertemu. Pertengahan 2002, Yahoo Messenger (YM) dan percakapan.  Kamar-kamar pengguna terbuka untuk setiap minat yang diinginkan penjelajah maya. Saya memilih kamar Asia – Pakistan. Untuk alasan tertentu, berbicara dengan orang-orang Asia dengan bahasa inggris seadanya lebih masuk akal dibanding meloncat ke kamar Amerika Utara dan kebingungan sendiri karena gap berbahasa yang terlalu jauh. Uniknya lagi, dengan nama pengguna akun YM saya Rano, seperti tak habis putus orang-orang Pakistan yang masuk dan menyapa. Usut punya usut Rano punya sinonim feminin dengan Rani, nama lazim perempuan di Asia Selatan. Saya terkekeh-kekeh, selanjutnya dari para lelaki Pakistan yang masuk dan saya yang direpotkan menjelaskan jenis kelamin saya, hanya tersisa beberapa saja yang melanjutkan percakapan. Abbas Hussaini namanya, lelaki Pakistan yang tinggal di Iran. Abbas biasa ia dipanggil, kadang-kadang saya panggil Bhae berarti kakak. Lelaki tigapuluh an, seorang penganut Shi’ah di komunitas Muslim di Pakistan. Saat itu ia masih di Iran untuk melanjutkan pendidikan agama setingkat Master. Ia bercita-cita menjadi Doktor dalam bidang Agama dan saya hanya bisa menelan ludah. Saya sendiri tidak begitu relijius, jadi tidak pernah terfikir oleh saya bersekolah khusus agama. Hal yang menyenangkan berbicara dengan Bhae, dia dengan sabar menjelaskan kepada saya tentang apa itu Shi’ah dan apa itu Sunni. Saya sendiri saat itu bingung apakah Ahlussunah Wal Jamma’ah juga merupakan kaum Sunni. Saya tidak pernah mengenal kaum Shi’ah di Indonesia, dan teman shi’ah saya satu-satunya hanya Bhae. Bhae yang baik tidak memaksakan saya untuk memahami Shi’ah secara utuh sama seperti ia tidak mencela saya ketika saya berbicara tentang Sunni. Ia mengajak saya untuk berbicara hal yang lebih humanisme. Saat itu konflik kaum Sunni dan Shi’ah tidak pernah surut. Pembunuhan antar kaum menjadi biasa di Pakistan dan Iran. Banyak anak-anak yang menjadi yatim dan perempuan-perempuan yang menjadi janda. Siapapun kita, ucapnya, meski agama kita berbeda tetapi persamaannya kita adalah keterasingan itu sendiri. Bahkan para Nabi agama besar manapun di dunia menghadapi keterasingan saat mereka menyebarkan agama.  Lalu kenapa kita tidak bergandeng tangan untuk mengatakan keterasingan adalah hal yang kita ciptakan sendiri saat kita merasa berbeda dengan orang lain. Adalah mudah untuk mencari perbedaan tetapi kita lupa seberapa banyak di langit dan dibumi yang menjadikan kita sama. Setelah itu beberapa kali saya mengirimkan email dan bercerita tentang kehidupan saya di Indonesia, soal skripsi, soal mencari jodoh dan tetek bengek keluhan saya soal hidup. Bhae masih saja seperti yang dahulu yang bersahaja dan membuat saya tersenyum. Namun tidak lama setelah itu ia menghilang di penghujung 2002. Tak ada lagi email yang di balas. Tidak ada lagi tanda-tanda online di akun YMnya. Saya merinding, semoga saja kerusuhan-kerusuhan atas nama agama tidak menyeret dia ke dalam pusarannya. Tapi kabar tentangnya berhenti tidak seperti tahun yang terus saja berjalan maju, dan saya merasa sangat kehilangan. Awal 2011, sembilan tahun lewat sudah. Di awal bulan ini pintu-pintu ajaib menyediakan lebih banyak varian. Mereka menyediakan penyimpanan video yang kau bisa putar kapanpun atau tayangan langsung melalui streaming yang tidak lagi tersendat-sendat. Pintu-pintu yang semakin misterius meskipun beberapa diantaranya tidak bisa lagi dibuka atas nama kejahtan pornografi. Pintu yang membuka ingatan saya pada keterasingan Abbas Hussaini. Saya tidak pernah menyangka kekerasan agama akan sampai ke sini, ke Indonesia.  Saya hanya mengurut dada dan menghembuskan nafas panjang ketika satu persatu mereka yang berbeda meninggal karena kekerasan atas nama Agama. Mereka tidak ingin berbeda, mereka tidak ingin disakiti karena perbedaan tadi sama seperti kita. Ataukah kita  yang terlanjur hidup dalam dunia tanpa perbedaan dan merah padam pula ketika satu persatu mengacungkan jari dan mengatakan mereka berbeda.  Saya merasa terasing dalam kerumunan ini. Mungkin suatu hari kekerasan itu akan mengetuk pintu rumah saya.  Tapi saya tidak kuatir, pintu-pintu ajaib dan orang-orang yang bersembunyi di balik pintunya  yang pernah saya kenal telah mengajari saya hal penting. Jangan bersembunyi dari keterasingan itu sendiri. Keluarlah dan ciptakan lingkaran kasih sayang karena hanya dengan itu kekerasan dapat kita hindarkan.  Bhae dimanapun kamu berada sekarang, terimakasih,  menjadi temanmu adalah indah meski kita berbeda dan tak pernah berjumpa lagi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline