Indikator keberhasilan moderasi beragama di Indonesia ada empat yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, akomodatif terhadap kebudayaan lokal.
Komitmen kebangsaan merupakan indikator pertama dalam moderasi beragama, yang sangat penting untuk melihat sejauh mana cara pandang, sikap, dan praktik beragama seseorang berdampak pada kesetiaan terhadap konsensus dasar kebangsaan, terutama terkait dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara, sikapnya terhadap tantangan ideologi yang berlawanan dengan Pancasila, serta nasionalisme.
Sebagai bagian dari komitmen kebangsaan adalah penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945. (Lukman Hakim: 2022:43)
Indikator kedua dalam moderasi beragama yaitu toleransi. Muhammad 'Imarah (1931-2020 M), cendekiawan Muslim Mesir dalam bukunya Haqaiq wa Syubuhat Hawla as-Samahah al-Islamiyah wa Huquq al-Insan mengatakan bahwa tasamuh (toleransi) ialah kedermawanan yakni pemberian tanpa batas dan juga kemudahan dan kelemahlembutan dalam segala sesuatu serta dalam berinteraksi tanpa menanti balasan atau harga atau kebutuhan kepada imbalan.
Pakar lain merumuskan hakikat toleransi sebagai berdamai dengan pihak lain dengan "menerima" sikap dan pandangan mereka selama tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku. (Quraish Syihab:2022:4)
Toleransi beragama yang menjadi tekanan adalah toleransi antaragama dan toleransi intra-agama, baik terkait dengan toleransi sosial maupun politik. Melalui relasi antaragama, kita dapat melihat sikap pada pemeluk agama lain, kesediaan berdialog, bekerjasama, pendirian tempat ibadah, serta pengalaman berinteraksi dengan pemeluk agama lain. Sedangkan toleransi intraagama digunakan untuk menyikapi sekte-sekte minoritas yang dianggap menyimpang dari arus besar agama tersebut.
Quraish Syihab menyatakan bahwa tanpa toleransi hidup ini akan terganggu. Sebab Manusia dianugrahi oleh Allah pikiran., kecendrungan, bahkan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan aneka perbedaan dan pertentangan yang jika tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan bencana (Quraish Syihab:2016:184). Hal tersebut sudah termaktub di dalam al-Quran:
(117)
Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. (QS Hud/11:117-118)
Di sisi lain perbedaan manusia bukan hanya pemikiran, pandangan dan kepentingan saja akan tetapi perbedaan itu juga ada pada sisi suku bangsa dan budaya. Perbedaan tersebut dinyatakan oleh QS al-Hujurat/49:13