Keluarga merupakan bagian paling penting dalam tumbuh kembang anak. Umumnya, keluarga terdiri dari seorang kepala rumah tangga yang biasa disebut ayah, ibu, dan anak serta pada satu sama lain memiliki keterikatan tertentu.
Setiap keluarga pasti memiliki masalah, tapi bagaimana kesadaran untuk mencari jalan keluar agar tidak terjadi hal -- hal yang tidak di inginkan ialah kunci agar keluarga tidak terpecah.
Banyak sekali keluarga yang berhasil melewati banyak masalah, tapi banyak juga keluarga yang akhirnya terpecah dan mengakibatkan anaknya mengalami broken home. Pernahkan kalian mendapati anak yang kurang kasih sayang dari orang tuanya dan biasa disebut dengan " anak broken home "?.
Broken home
Idealnya perkembangan anak akan optimal jika kedua orang tua dapat mengoptimalkan peran serta fungsinya dalam keluarga. Namun kenyataanya, tidak semua keluarga dapat memenuhi ideal tersebut. Keluarga yang harmonis tentu akan menciptakan pengaruh positif terhadap anak dan begitupun sebaliknya. Kondisi keluarga yang tidak harmonis akan menyebabkan keretakan yang sering kali kita sebut dengan istilah " broken home ". Istilah broken home ialah sebutan bagi keluarga dengan orang tua yang berpisah sehingga menyebabkan masalah yang terjadi pada tumbuh kembang anak.
Anak yang broken home biasanya memiliki masalah psikologis dan rentan melakukan kenakalan. Namun, stigma broken home ini tidak selamanya benar. Banyak sekali anak yang broken home tetapi masih mendapat kasih sayang, perhatian, serta Pendidikan yang baik asalkan kedua orang tuanya sama -- sama bertanggung jawab meskipun status mereka telah bercerai. Wilis (dalam Wulandari & Fauziyah, 2019:2) mengatakan bahwa broken home ialah kondisi dimana hilangnya perhatian dan kasih sayang dalam keluarga yang menyebabkan pertengkaran dan umumnya berujung perceraian.
Kondisi dalam rumah tangga yang yang broken sering kali membuat anak mengalami depresi mental. Sehingga tidak jarang anak yang hidup dalam keluarga demikian akan berprilaku social yang kurang baik. Anak mempelajari banyak hal berawal dari keluarga, seperti cara berinteraksi dengan orang lain dan cara mengekspresikan emosi. Untuk itu, setiap individu penting untuk memiliki pengendalian emosi atau biasa kita sebut regulasi emosi.
Regulasi emosi
Regulasi emosi secara kognitif, menurut Garnefksi & Kreaaij (2007) ialah strategi untuk mengelola emosi yang dilakukan dengan memikirkan serta melakukan penilaian terhadap suatu situasi yang menekan. Saat menghadapi situasi yang mnecekam, maka seseorang akan berfikir dan menilai dengan banyak pertimbangan misalnya dari pengalaman masa lalunya. Orang yang mampu berfikir positif dan menilai situasi dengan tepat makai a menunjukkan regulasi emosi yang lebih positif. Sebaiknya, orang yang kurang mampu berfikir positif akan menujukka regulasi emosi yang negative.
Regulasi emosi merupakan proses untuk mengenali, menghindari, menghambat, mempertahankan, dan mengelola kemunculan perilaku yang berhubungan dengan emosi dalam rangka memenuhi afek biologis atau adaptasi social untuk meraih tujuan individu. ( Einsenberg & Spinrad, 2004, p. 134; Eisenberg, 2006 ). Dari pengertian tersebut, regulasi emosi dapat dimaknai sebagai usaha yang dilakukan individu untuk meraih tujuan dalam melakukan adaptasi akan situasi yang ia hadapi. Seseorang dikatakan mampu meregulasi emosi dengan baik apabila ia mampu berpikir positif.
Faktor yang mempengaruhi regulasi emosi