Yurika Asni Lahir di Lhokseumawe, Aceh. Secara pribadi saya belum begitu kenal perempuan berpostur tinggi yang kini tinggal di kota Kupang itu. Saya ingat betul kurang lebih dua bulan yang lalu kami bertemu untuk pertama kalinya di kantor IRGSC.
Saya diundang oleh Kak Manuel Alberto Maia (sutradara muda NTT) dari Komunitas Film Kupang (KFK) yang bekerjasama dengan sebuah organisasi internasional yang fokus pada migran (IOM). Mba Yurika, (begitulah saya menyapanya) adalah salah satu di antara pegawai IOM. Saya sedikit mengenal Mba Yurika karena terlibat dalam kegiatan Global Migration Film Festival 2018 di Kupang.
Pelan-pelan saya tahu Mba Yurika seorang penulis novel. Novel pertamanya Aleena sebuah perjalanan hidup saat itu didiskusikan di kantor IRGSC. Sayangnya saya tidak sempat hadir saat diskusi itu berlangsung. Saya penasaran dengan novel itu karena berkisah tentang perjalanan hidupnya selama menjadi relawan di Somalia dan Pakistan.
Aleena merupakan buku pertamanya. Saya kagum pada keberaniannya menceritakan rentetan peristiwa yang dialami. Saya belum mengonfirmasi berapa persen fakta dalam novel Aleena yang benar adalah kisah hidupnya dan berapa persen balutan fiksinya. Hemat saya, hampir delapan puluh persen cerita ini adalah fakta.
Bila saya salah itu artinya saya terlalu percaya diri menyimpulkan sesuatu. Bisa juga saya terlalu terbebani dengan profil penulis yang terpampang di akhir halaman buku dan saya tidak benar-benar merdeka membaca Aleena.
Baiklah, mari kita beranjak memasuki bagian novel yang mengaduk emosi saya. Pada bagian ini saya membaca dengan napas tertahan dan bola mata bergerak cepat karena ingin segera menyelesaikan bagian paling deg-degan itu.
Saya begitu merasakan situasi di mana Aleena (toko utama dalam novel) keluar diam-diam tanpa pengawasan dari area kantornya. Ia hanya dipandu sopirnya. Tentu di wilayah konflik seperti latar yang diceritakan dalam novel ini, itu sebuah tindakan berisiko yang membuat was-was.
Apalagi Aleena adalah pekerja asing di Pakistan. Keberadaan pekerja asing dijaga ketat setiap kali melakukan tugas ke daerah-daerah konflik. Saya ikut merasakan bagaimana hidup menyilih peluru yang bisa datang dari mana saja arahnya. Harus mengantisipasi setiap perjalanan dengan kendaraan, helm, dan rompi anti peluru. Keadaan di mana nyawa bisa melayang kapan saja ketika terjadi serangan tiba-tiba.
Novel ini adalah sebuah perjalanan yang jujur dan apa adanya. Sebuah kesaksian hidup dari wilayah konflik yang mencekam tanpa banyak dibalut dengan imajinasi dan majas-majas yang tinggi. Paragraf-paragraf dalam cerita mendeskripsikan kondisi geografi sosial yang lagi-lagi saya katakan dihidupkan dengan bahasa yang jujur dan sederhana.
Akhirnya, dengan sebuah usaha untuk kembali menuliskan apa saja sebagai bentuk hukuman atas kemalasan saya menulis dua tahun terakhir ini. Maka maafkan bila catatan ini hanya 'segini'. Saya sedang berupaya menulis kembali. Selamat untuk Aleena, selamat Mba Yurika Asni. Bagi saya Aleena sudah pulang. Ia tak tak butuh sekuel.
Kupang, 19 Desember 2018
Salam,
Sayyidati Hajar