Setelah uang itu diserahkan di atas tempat sirih, tak ada lagi pembicaraan. Gadis dengan goresan luka di tangan itu menerima takdir. Ia akan pergi. Membawa serta keinginan bapak dan isak tangis ibunya.
Ia sudah mantap. Hatinya lega. Kepergiannya adalah harapan besar semua keluarga. Setelah purnama sempurna mati. Hari berangkatnya tiba. Ada senyum ibu juga air mata yang ditahan kuat-kuat.
"Jalan sudah, nanti kalau sudah sampai jangan lupa telepon," bisik ibunya disela pelukan.
Bapaknya tersenyum. Banyak harapan bercahaya di wajah lelaki berambut putih itu. Lidia, gadis dengan goresan luka di tangan kiri itu ikut tersenyum. Ada janji yang ia ucap diam-diam menjawab senyum bapaknya, juga senyum ibu yang tengah menahan air mata. Ia yakin, setelah motor yang mengantarnya mulai berjalan meninggalkan rumah tua mereka. Tangis ibunya pasti pecah. Itu sebabnya ia pantang menoleh ke belakang. Ia sudah mantap.
***
Pagi setelah melewati banyak jalan berliku dengan kendaraan roda empat yang mereka tumpangi. Kegiatannya hanya menunggu perempuan itu bicara. Memberinya gambaran tentang apa yang akan ia lakukan. Juga tips-tips agar disenangi banyak orang. Lidia bersemangat mendengar setiap kata yang keluar. Ia memang terkenal pintar di sekolah. Selain nilainya yang bagus, gadis itu terkenal sopan dan peduli. Itu Sebabnya ia antusias dan cepat menyerap pembicaraan perempuan itu.
Malam setelah ia terlelap. Lima orang datang lagi setelah dua orang perempuan telah lebih dulu sampai pukul empat sore. Lidia baru sadar setelah suara-suara semakin dekat dengan kamar yang ditempatinya. Ia membuka mata tepat saat pintu ruang itu dibuka.
"Selamat malam, Nona Lidia. Ada teman yang akan berangkat juga. Mereka baru sampai," perempuan itu menjelaskan dengan baik. Lidia menganggup lalu tersenyum ramah pada lima orang yang berdiri di sisi perempuan itu. Mereka diminta untuk beristirahat. Setelah memberi beberapa penjelasan yang dirasa penting, perempuan itu menutupw pintu.
"Nona sudah dari kapan?" tanya perempuan yang memimpin rombongan malam itu. Perempuan itu berperwakan kecil dengan rambut keriting mengembang di kepala.
"Baru tadi malam, Tanta," gadis itu menarik napas, "Saya datang dari Soe."
Perempuan berperwakan kecil itu tersenyum, memutuskan beristirahat setelah menerima jawaban Lidia. Setelah malam lewat, perempuan itu membasahi bantal dengan ingus dan air mata. Ia teringat anaknya, seusia Lidia. Gadis yang kini bersamanya di ruang itu.