Islam itu sederhana, bahkan teramat sederhana. Karena begitu sederhananya, maka kebanyakan manusia yang teramat kompleks dengan segala pemikiran dan kecerdasannya, pada akhirnya tidak mampu menikmati kesederhanaan islam. Islam itu taslim, kepasrahan yang sederhana seperti bayi mungil pasrah pada ibu bapaknya, yang mengasuh, yang mengasihi dan menyayangi sang bayi. Hal tersebut adalah fitrah islam yang sangat sederhana. Kesederhanaan itulah yang akhirnya akan menyelamatkan, yang akan meng-islamkan. Selamat, Anda sudah memasuki pintu gerbang islam apabila mampu melihat kesederhanaannya.
Jangan berfikir islam secara kaffah dulu, apabila kita belum menikmati pintu pemikiran islam yang sederhana. Jangan bicara iman dan ketakwaan dulu, apabila belum memahami kesederhanaan iman dalam dua kalimah syahadat. Sebuah persaksian, kebulatan tekad yang tidak rumit, yang mampu menggetarkan hati dan pikiran bahwa kita beriman kepada Alloh dan rasul Alloh, Muhammad sholallohu alaihi wassalam.
Syahadatain adalah pembuka jalan pikiran dan pengendali hati yang menyimpulkan secara sederhana suratul fatihah. Wallohu a'lam, apabila ini pun dianggap sebuah kerumitan, cukuplah kita sederhanakan lagi dengan membaca dua kalimah syahadat, seperti bayi yang baru belajar berbicara, dan terus taslim pada bimbingan kedua orangtuanya.
Sang bayi yang taslim akan terus bahagia bersama kedua orangtuanya. Dia akan belajar minal mahdi untuk berucap syahadat, merangkak, berdiri, lalu rukuk dan sujud meski belum memahami apa makna rukuk dan sujud yang dia lakukan. Dia hanya melakukan hal-hal yang dibimbing oleh kedua orangtuanya. Sang bayi taslim hanyalah sami'na wa atho'na pada yang mengasihi dan menyayanginya. Dia menjadi sebuah bentuk tuturutan, menuruti saja dulu. Dia taslim mengikuti dan menjalankan apa pun yang diridhoi oleh kedua orangtuanya. Mamah papah bahagia dan berujar "Eh, Ananda sudah bisa berdiri!". Sejak itulah kedua orangtuanya mulai mengajaknya mendirikan sholat, membahagiakannya dengan sholat berjamaah, meskipun sang bayi belum memahami rukuk dan sujudnya. Tapi orangtuanya bahagia, mereka meridhoi Ananda yang bsudah berdiri dan sholat. Inilah diantara penciri ridho Alloh yang berakar pada ridho kedua orangtuanya. Islam itu taslim, sangat sederhana selaksa fitrahnya sang bayi bemama-mama, papa-papa.
Pada pertumbuhan kehidupan selanjutnya setelah sang bayi piawai dalam segala gerakan seperti merangkak, berdiri dan berlari. Suatu hari pasti sang bayi mengalami jatuh, kecewa, sakit dan rasa ketidaknyamanan lainnya. Sang bayi menangis, berkeluh-kesah, bahkan mungkin marah-marah tak tentu judul lagunya. Namun insha Alloh, hal yang manusiawi itu akan mereda sesuai dengan takdir dan ikhtiar kedua orangtuanya. Kedua orangtuanya akan terus dengan penuh kesabaran, mengajarkan, membimbing tentang risiko dan konsekuensi bayi manusia yang akan menjadi khalifah di bumi. Mereka yakin pada bayinya karena dibekali akal sehat dan harus terus dikembangkan memorinya dengan keilmuan, dengan pendidikan supaya menduduki kekholifahan yang diridhoi Alloh. Hati bayi manusia harus terjaga dengan ketasliman, dengan keyakinan bahwa Alloh maha pengasih dan maha penyayang. Dengan nama Alloh yang maha pengasih maha penyayang telah diupayakan untuk diwujudkan dalam protipe ayah bunda yang penuh cinta. Bergeraklah ayah bunda model mamah-papah ramah anak. Ayah yang mengasihi, bunda yang menyayangi. Kedua orangtua berkolaborasi mewujudkan maha pengasih dan maha penyayangnya sang pencipta dalam rupa silih asah, silih asih, silih asuh agar kehidupan manusia mampu memaparkan virus silih-wangi.
Silih asah, bisa dimaknai secara sederhana belajar minal mahdi ilal lahdi. Belajar sejak dari dede bayi hingga dipendam di liang lahat pasca sekarat. Silih asih pun adalah perilaku yang sederhana dan biasa. Kita terbiasa berbagi ulasan senyum, bersentuhan penuh rasa silih-wasilah tuh rahmi. Pun silih asuh, sebuah hal yang sering diungkapkan dalam lagu-lagu ramadhan yang bernuansa rahmatal lil alamin. Kita sering saling menjaga sesama, menalangi, mengganti dan menolong siapa saja yang membutuhkan. Menjaga alam dan tanah air di mana kita berpijak di situ langit etika dijunjung dengan sikap taslim.
Ketiga kesederhanaan sikap berupa silih asah, silih asih dan silih asuh adalah sikap yang harus dilestarikan dalam bentuk zakat, sebuah simpulan sederhana setelah bersyahadat dan sholat. Maka dengan demikian akan terpaparlah sebuah lingkungan yang silih-wangi, saling mengharumkan nama bangsa dan negaranya. Dimana pun sang bayi dewasa tinggal dan menjadi abdi negara, dia menjadi bagian tak terpisahkan dari fitrah Abdi lillah.
Menjadi abdi negara bukan berarti harus menjadi ASN, dan yang sudah menjadi Aparatur Sipil Negara harus menanggung beban amanah kholifah abdi-lillah, seorang abdillah Dzulkifli, yang memiliki kesanggupan. Karena islam adalah taslim dan tidak merepotkan maka siapapun kita haruslah sanggup menjadi kholifah di muka bumi, dalam skala mikro maupun makro. Ingat ungkapan populer pada zaman almarhum Gus Dur, "begitu saja kok, repot!" Ungkapan tersebut dapat menguatkan pandangan dari artikel ini. Bahwa islam itu sederhana, islam itu taslim saja dulu. Bersyahadat, sholat dan zakat. Wa aqimussholatu wa itauzakatu setelah bersaksi, menyalakan saklar daya elektik ilahiyah dengan dua kalimah syahadat, sambungkan dengan rangkain paralel maupun seri pada instalasi sholat dan zakat.
Mau melangkah secara sederhana menuju takwa? Maka kita harus berpuasa, terutama di bulan ramadhan sebagaimana yang telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu, minkoblikum, ya minkoblina juga. Kebetulan tahun ini munggah puasa ramadhan kita disajikan dengan hari raya nyepi. Itu sudah bisa membuka mata kita secara sederhana, mereka yang melaksanakan nyepi bisa kita ambil sample sebagai umat terdahulu yang tidak tersambung secara paralel maupun seri dengan saklar dua kalimah syahadat. Maka puasa mereka bukan puasanya orang islam, beda sumber elektriknya, beda daya dan upayanya.
Daya upaya sang bayi mungil yang sudah beranjak dewasa dan berpuasa untuk meraih takwa, haruslah pula tersambung-rangkai dengan instalasi rukun islam, baik secara paralel maupun seri. Hal ini sangat sederhana untuk dipahami bagi siswa dan siswi islami yang tengah belajar berpuasa ramadhan di bulan ini. Termasuk penulis pun adalah siswa dan siswi yang harus terus belajar sepanjang hayat, minal mahdi ilal lahdi agar lampu led puasa terpasang sempurna pada rangkaian seri maupun pararlel silaturahmi dengan daya elektrik dan senjata jamus khalimasyada. Sehingga pada akhirnya, inna sholati wanusuki wa mahyaya wamamati lillahi robbil alamin, laa syarika lahu.
Hal sederhana daya jamus khalimasyada yang terangkai koneksinya pada panel sholat, pada kulkas zakat dan sinaran lampu led puasa ramadhan adalah berniat ziarah ke tanah suci. Bagi manusia yang tidak taslim, ini akan menjadi pemikiran yang rumit dan repot. Bisa jadi ketika kita merasa rumit, bersedih, kuatir dan repot. Maka periksa daya elektrik iman kita, mungkin kehilangan daya. Mungkin kita lost power iman dengan indikator sedih, repot dan kuatir. Daya elektrik iman yang kuat adalah laa tahzan wa laa takhof. Tidak ada kesedihan dan kekhawatiran bagi yang memiliki daya iman yang kuat. Kita, repot? Yuk, Periksa iman kita. Jangan-jangan kita masih merasa repot melaksanakan kewajiban ibadah haji, atau berziarah ke tanah suci. Wallohu a'lam bishawab, wal afwu minkum wassalamu alaikum.