Lihat ke Halaman Asli

Sayyidal Jamat

Guru Sakola Desa

Rai Mahdi, Potensi Civil Society 5.0

Diperbarui: 30 Maret 2023   17:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Chapter 4 : Kisah Rai Mahdi

Kita mulakan kisah ini dari inti cahaya pada zaman big-bang semesta raya. Inti cahaya yang mengalami big-bang pun mulai tumbuh menjadi cahaya yang sempurna, inilah Rai Mahdi, sang Cahaya Terpuji yang merajai semesta raya. Dia rela berbagi cahayanya pada milyaran bintang dengan menghancurkan diri, sebagaimana dikehendaki oleh Sang Pencipta. Segala puji atas Khalika, sang pencipta Rai Mahdi yang membuka sekalian alam. Itulah kabar pembuka dalam Kitab Semesta.

"Laulaka laulaka, lamma khalikal aflaka,...tidak akan Aku ciptakan alam semesta ini, kecuali karena Aku akan menciptakan Engkau, wahai Rai Mahdi, sang Cahaya Terpuji!" demikian Sang Pencipta menyapa alam semesta, seraya menciptakan Cahaya Terpuji yang dipanggil-Nya dengan sebutan Rai Mahdi, yang akan bersemayam pada hati setiap utusan di bumi pada masa nanti.

Bergeraklah sang zaman, dari zaman big-bang meneuju zaman Rai Mahdi, zaman segala puji bagi Khalika sang pencipta, zaman cahaya atau era-nebula, peradaban big-bang yang melahirkan generasi supernova tata surya dan galaksi dalam dimensi semesta.

Pada zaman Rai Mahdi, yang ada hanyalah 'ada'. Ada ketunggalan tanpa nama, tanpa mula, kekal-abadi dan akan mengabadikan, mencipta, tiada sesuatu apapun pun yang menyerupainya, Tidak ada yang mengetahui namanya. Maka dikabarkanlah hal ini dengan satu sebutan, yaitu 'asal'. Suatu masa yang ditentukan, segala sesuatu memiliki 'asalnya' lalu akan kembali ke 'asalnya' semula. Bumi dalam sebuah galaksi yang lahir dari asalnya yaitu big-bang, maka suatu saat akan kembali ke asalnya pula, yaitu big-bang kembali.  

Semua yang ada dari semula zaman hingga akhir zaman tentu memiliki 'asal' yang sama. Manakala kita memahami tentang adanya 'asal yang sama' kemudian menyadari bahwa kita akan kembali ke 'asal' semula, inilah yang kita maknai sebagai 'asalistis'. Siapa pun manusia yang meyakini tentang hal ini, tentang perihal 'asal' yang hakiki. Tentang awal dan akhir, tentang hidup dan mati, tentang proses penciptaan dari asalnya, tentang ada dari ketiadaan, dia adalah seorang Asalist.

Menjelang akhir zaman, ragam makna asalistis telah terungkap dalam berbagai kisah dan syair yang getarannya bisa sampai ke jantung dan hati manusia.

" Cinta ya cinta, cinta ya cinta,

...wahai Sang Utusan Tuhan...

Tuhan ya Tuhan, Cintanya Tuhan, hanya dari-Mu, Cinta..."

Serumpun syair sayup-sayup terdengar mengiringi setiap masa yang terus tumbuh dan berlalu di hamparan bumi yang menjadi embrio kehidupan manusia, yaitu tanah dan air.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline