Akara rekah kisahku, kekasih
bercelak buatku muak
mengoyak selaksa cerlang kepedihan
tumbuh bangkitkan jejak candala
meski tlah kutelungkupkan wajah
dalam jemari sunyi sendiri
Dengarkah kau, kekasih
riuh cerca siaran rapor merahku pagi-pagi
kepada ayah-ibuku guru kali pertama sebarkan
kepada ikatan sosialita karibnya ibu kabarkan
kepada penjuru anak kampung ayah bandingkan
juga kepada kau kekasih, oh
hadirmu terkambinghitamkan
selamat datang pada dunia serba salah
keji, tak ada yang benar
selama kita masih bersua erat, kekasih
cepat mereka sematkan buta
pada cinta ku tanam dalam raga dan hadirmu
tapi mereka labeli adiksi teknologi
Maafkan mereka kekasih,
anggap seketika lupa (dan buta) riwayat jasamu
tak henti, kau satu-satunya pembimbingku
kala guru terhalang mengajar oleh pandemi
kala ayah-ibu menyerah jadi guru di rumah
juga kala mereka tak pahami betapa rumit
telaah lembar dan layar pintar mandiri
Cukup berikan senyum manis, kekasih
cukup kau penghiburanku saat ini
saat memori pair tentangku berbisik:
lihatlah muak buat kelintaran tiada pekerti
saat kelas daring merebak ku jera duduk menyimak
Mari petik hasilnya bersama, kekasih
kita lari sejenak tuk bertualang
jelajahi ruang mayamu penuh ilmu
temani aku, berkejaran dengan pelajaran yang aku banyak tertinggal.
Gresik, 23 Oktober 2021
Puisi ini saya tulis di tengah pekan penerimaan rapot sisipan, bersiap hadapi keluh-kesah siswa dan walinya, bismillah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H