Tradisi Palang Pintu Terancam Punah
Berbicara mengenai palang pintu maka akan berhubungan erat dengan suku betawi. Mengapa demikian, karena tradisi Palang Pintu adalah salah satu identitas yang melekat pada masyarakat Betawi. Tradisi Palang Pintu ini merupakan bagian dari rangkaian acara pernikahan adat betawi sejak zaman dahulu. Biasanya dalam tradisi palang pintu ini yang paling sering ditunjukkan adalah seni pantun dan perpaduan silat. Lalu bagaimana jika tradisi yang menjadi salah satu identitas suku Betawi ini terancam punah?.
Dinamakan palang pintu karena masuknya pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan. Istilah orang betawi "lu ga bisa sembarang masuk ke rumah anak gua". Jadi syaratnya apa?, sebelum masuk ke rumah gua lu jatohin dulu jawara-jawara gua. Nah istilah palang pintu dicegat. Jadi pengantin laki-laki dicegat dengan rombongan pengantin perempuan dengan cara harus menjatuhkan jawara yang ada dipihak perempuan.
Dalam permainan palang pintu sebelumnya tidak ada prosesi-prosesi adat, awalnya hanya melakukan ledek-ledekan saja. Untuk pemain palang pintu kebanyakan dilakukan oleh senior, dikarenakan ilmunya sudah mumpuni, sudah siap kena pukulan. Jadi apapun yang dihadapi sudah siap menangkis. Kalau memang kekurangan pemain, bisa yang junior untuk buka jurus.
Lalu kostum yang digunakan dalam palang pintu itu hampir sama semua, kecuali MC (pembawa acara) pakainya adalah Jasco (jas koko). Jika MCnya ada dua orang, maka pakaian yang satu berwarna merah ati dan yang lainnya lagi berwarna hitam. Kalau pemain semua pakai pangsi (seragam beksi) dengan berbagai macam warna, ada warna biru, hitam, dan kuning.
Palang pintu ini tidak hanya ada pada saat pernikahan saja. Biasanya ada juga pada festival, peringatan hari kelahiran sebuah kota atau penyambutan tamu-tamu penting. Namun, hal tersebut sudah jarang dilakukan. Karena selain faktor kemajuan informasi dan teknologi, para remaja milenial yang seharusnya menjadi penerus tradisi ini sudah enggan untuk belajar hal-hal yang berkenaan dengan tradisi palang pintu. Mereka lebih senang bermain game, menonton televisi, bermain gadget dan lain sebagainya, yang kebanyakan berdampak negatif bagi perkembangan mereka.
Selain itu juga, pola pikir masyarakat yang sudah modern yang sudah tak mau melestarikan budaya dan tradisi mereka sendiri. Dapat kita lihat di berbagai acara pernikahan Betawi saat ini, tradisi palang pintu sudah terbilang jarang bahkan tidak ada sama sekali. Saya sendiri menyaksikan di daerah yang saya huni setiap menggelar acara pernikahan sudah tidak ada lagi Palang Pintu.
Bahkan saya menyaksikan terakhir kali tradisi palang pintu dimainkan pada acara pernikahan keluarga pada tahun 2016, yang lebih mengkagetkan lagi, ketika saya bertanya kepada seorang anak berusia 9 tahun tentang tradisi palang pintu, ia mengatakan bahwa ia tidak mengetahui apa itu tradisi palang pintu. Padahal jika kita menelisik kepada nasab keluarganya ia terbilang anak betawi, kedua orang tuanya adalah suku betawi dan ia pun dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan yang berbudaya betawi.
Hal ini benar-benar sangat mengkhawatirkan. Jika kita sebagai generasi penerus bangsa, dan suku betawi sendiri saja enggan untuk melestarikan budaya dan tradisi kita, bagaimana mungkin anak cucu kita mendatang bisa merasakan tradisi-tradisi yang sudah hampir punah karena terkikis zaman.
Oleh karena itu peran serta pemerintah, peran serta keluarga, peran serta masyarakat dan peran diri sendiri itu sangat dibutuhkan dalam melestarikan tradisi yang hampir punah ini. Pemerintah sudah membuktikan dengan mengeluarkan peraturan tentang pelestarian kebudayaan betawi.
Namun, pemerintah tidak bisa mengangkat tangan begitu saja, selaku pemilik kebijakan pemerintah harus menunjukkan komitmennya dalam memberdayakan potensi generasi penerus bangsa untuk melestarikan tradisi betawi dan tak kalah pentingnya melindungi generasi dari serbuan media dan komunikasi yang dapat merusak watak dan karakter generasi penerus bangsa.