Lihat ke Halaman Asli

Politik Islam atau Islam Politik?

Diperbarui: 13 Juli 2017   16:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Persentuhan ‘Islam’ dengan wilayah ‘politik’ di tanah air telah berlangsung cukup lama. Bahkan sejak Nusantara masih berbentuk kerajaan-kerajaan dengan sistem monarkhi, masa kolonialisme, hingga masa pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan yang bisa disebut dengan era Indonesia modern. Politik secara sederhana adalah ‘ring’ tempat di mana pertarungan kekuasaan untuk merebut pemerintahan.

 Dalam persentuhannya dengan wilayah politik, Islam kadang mencerahkan sejarah dan peradaban atau justru sebaliknya, bisa menggelapkannya. Islam terkadang menjadi kekuatan positif, dan kadang pula menjadi kekuatan negatif; kadang menyuburkan demokratisasi, namun kadang pula menjadi penghambat demokrasi. Islam bisa dekat dengan humanisasi, kadang juga sebaliknya, dehumanisasi.

 Diibaratkan sebuah wajah, Islam adalah satu wajah yang bisa beragam ekspresi. Islam adalah wacana yang (mungkin saja) ‘netral’, tetapi jugan penuh ‘paradoks’, tergantung para penafsir dan pemeluknya. Kata ‘Islam’-nya mungkin satu, tetapi ‘Teks Islam’-Nya bisa sangat beragam, apalagi tafsir dan interpretasinya. Justru karena Islam merupakan wajah yang multi ekspresi, maka yang bisa diidentifikasi secara riil dalam sejarah adalah ekspresi para penafsir dan pemeluk Islam yang berjenis-jenis dan beraneka.

Pragmatisme Partai Islam

Sejak kemerdekaan, rakyat Indonesiatelah melalui beberapa Pemilu, lima di antaranya secara demokratis: pada  1955, 1999, 2004, 2009, dan 2014. Dengan  memperbandingkan kelima Pemilu ini, kita mendapatkan gambaran yang sangat berbeda tentang Islam Indonesia. Alih-alih menjadi makin ideologis, sikap religius-politik muslim Indonesia malah makin pragmatis. Pada empat Pemilu terakhir jelas-jelas menunjukkan bahwa partai-partai politik Islam gagal memperbaiki rapor yang mereka capai pada 1955 (43%). Secara keseluruhan, pada keempat  Pemilu itu, partai-partai Islam hanyameraih kurang dari 20% dari total suara yang diperebutkan.

Kondisi ini direspon oleh PKS sebagai partai – yang selama ini paling konsisten dengan ‘ideologi’-nya – Islam. Renspon ini memunculkan stategi marketing baru demi mendongkrak kembali elektabilitas partai. Salah satunya yaitu dengan mengganti slogan yang awalnya “bersih, peduli dan professional” menjadi “cinta, kerja dan harmoni”. Sepertinya PKS ingin memasukan era baru dalam pengelolaan partainya. Prinsip-prinsip Islam mulai bergeser dengan mamasukkan nilai humanisme dengan harapan bahwa dengan nilai humanisme ini bisa menarik simpati khalayak yang cenderung sudah antipati dan apriori terhadap ideologi Islam.

PKS sudah melakukan terobosan baru yaitu dengan menjadi partai yang terbuka. Penggagas ide evolusi ini adalah Sekjen PKS sendiri - pada waktu itu - yaitu Anis Matta. Hal ini dilakukan dengan harapan besar bisa mendongkrak citra PKS sebagai partai yang inklusif dan demokratis. Terbukti sudah PKS mencalonkan anggota legislatifnya yang beragama Hindu di Bali pada Pemilu 9 April 2014 lalu. Pada pemilu sebelumnya yaitu tahun 2009, PKS sudah memiliki 26 anggota legislatif beragama Kristen yang duduk di DPRD provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Hal ini menunjukkan adanya pergeseran yang demikian signifikan terhadap ideologi partai-partai Islam yang selama ini konsisten ‘menjual’ Islam sebagai ‘brand’ politiknya. Nampak-nampaknya PKS juga sudah berubah, dan sudah mulai ‘menggadaikan’ Islam sebagai ‘komoditas’ politik.

Dalam tingkat wacana, semua partai Islam tampaknya bersepakat untuk memperjuangkan demokrasi dengan cara bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta memberdayakan partisipasi rakyat dalam politik, akan tetapi dalam kenyataannya hingga kini semua wacana itu hanya slogan kosong belaka. Kenyataannya, hingga kini korupsi, kolusi dan nepotisme semakin merajalela, bahkan aktor yang terlibat juga dari unsur partai politik (Islam) itu sendiri. Penegakan hukum masih memprihatinkan, sementara para elit politik yang berperilaku bobrok dan memualkan tidak pernah memperjuangkan kepentingan rakyat.

Islam Politik dan Politik Islam

‘Islam’ menjadi sebuah ‘brand’marketing dalam pertarungan politik di Tanah Air parca-reformasi guna meraup suara mayoritas. Munculnya partai-partai Islam yang diharapkan mampu merepresentasikan politik Islam - yang pernah meraih kesuksesan pada Pemilu 1955 – yang santun, demokratis, pro-rakyat, anti kemiskinan, dan anti KKN, nampaknya telah 100% gagal. ‘Brand’atau platform Islam itu nampaknya hanya sebatas realitas semu yang dipertontonkan melalui media, namun jauh dari realitas politik Islam pada tataran teoritis. Wacana politik Islam yang seharusnya juga tidak berbanding lurus dengan perilaku personal partainya (anggota dan simpatisan).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline