Lihat ke Halaman Asli

Air dan Api Itu Bersahabat

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sesungguhnya, Air dan api adalah sahabat yang mesra. Kata siapa mereka bertengkar? Kata siapa mereka saling memusnahkan? Mereka adalah kekasih mesra dalam bahasa yang mungkin tidak kita mengerti.
Air akan memusnahkan api ketika ia disiramkan diatasnya. Ia masuk perlahan, ke dalam setiap partikel api, meliuk perlahan. Lalu, blas. Api itu pun pias tak bersisa.
Mereka tidak pernah bertengkar, kecuali manusia saja yang membuatnya begitu. Air yang ditaro didalam panci, takkan berguna tanpa api. Api menghangatkannya, memanaskannya, menjerangnya. Agar energi dari api bisa tersalurkan, lalu energi itu bisa kita manfaatkan dalam wujud air.
Api tidak pernah marah, ia hanya perlu mencari pelampiasannya. Bukan pada air yang menghilangkannya. Air akan menjadi berguna, setelah api menjerangnya. Menjadi uap-uap yang menaungii ketel kita.
Ketika api memanaskan air, kita bisa memanfaatkan uapnya. Manusia bisa menggerakkan mesin dari uap air. Mesin itu tidak akan bergerak tanpa ada harmoni antara air dan api. Harmoni yang akan muncul bila kita mengadakannya, dan hilang bila kita meniadakannya.
Air tidak akan menjadi makna, tanpa api. Api tidak akan menjadi makna tanpa air. Keduanya hanya perlu mencari jalan panjang. Jalan panjang menuju makna. Jalan panjang di mana keduanya menjadi tidak sia-sia.

Mengapa pula kita harus menjadi seperti api yang memberangus dan memusnahkan. Mengapa kita harus menjadi air yang bisa menyejukkan tapi juga bisa menjadi gelombang yang menghancurkan. Jika air dan api bisa merajut sebuah harmoni dalam jalan Tuhan, Mengapa kita masih berbunuh-bunuhan dan saling memangsa satu sama lain, saling berperang dan benci. Sesungguhnya kita menurunkan derajat kemanusiaan kita sendiri.

Tuhan telah mengirimkan ayatnya pada kita. Pada api yang menyala-nyala. Dalam air yang mengalir. Tuhan mengirimkan ayatNya. Mereka akan menjadi makna jika kita menjadikan mereka makna, kita menjadikan mereka musibah jika menganggap mereka musibah.

Bukankah mereka bisa menjadi makna dari sebuah proses jalan berliku menuju makna?

Mengapa manusia tidak bisa?

*tulisan ini adalah hasil merenung selagi masak air menjelang berbuka puasa.

Semoga bisa menjadi renungan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline