Lihat ke Halaman Asli

Sayla Salsabila

Mahasiswa, researcher

Permintaan WFH Mencuat, Begini Kacamata HRD

Diperbarui: 8 Maret 2023   06:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah Pandemi Covid-19 berangsur-angsur melandai, pemerintah secara resmi menerbitkan  Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 50 tahun 2022 tentang PPKM pada Kondisi Covid-19 di Wilayah Jawa dan Bali yang memperbolehkan kembali diselenggarakannya WFO 100%. Namun, siapa sangka bahwa ada banyak pekerja yang merasa bahwa WFO tidak lebih baik dibandingkan dengan WFH yang telah mereka jalani selama 2 tahun terakhir ini. Hal tersebut mendorong seorang warga bernama Riwaty Sidabutar membuat petisi online untuk mengembalikan aktivitas work from home (WFH) di laman Change.org. Petisi itu dibuat karena aktivitas work from office (WFO) yang kembali berlaku dinilai membuat jalanan lebih macet, polusi, dan pekerja menjadi tidak produktif. Sampai saat ini, petisi yang dibuat Riwaty telah ditandatangani oleh  6.598 orang sejak diterbitkan kurang lebih dua bulan yang lalu (megapolitan.kompas.com, tertanggal 03/01/23). 

Riwaty menyampaikan bahwa jarak rumah kebanyakan pegawai kantoran tidak jauh berbeda dengan dirinya. Misal, seseorang harus menempuh jarak 20 km untuk ke kantor dari rumahnya, yang mana itu berarti orang tersebut harus menempuh perjalanan dengan jarak 40 km setiap hari untuk pulang pergi. "Belum lagi kalau hujan. Bisa-bisa, saya terjebak kemacetan lama sekali, satu jam bahkan menggunakan sepeda motor," kata Riwaty. Selain itu, Riwaty menilai bahwa WFO juga belum tentu membuat seorang pekerja menjadi lebih produktif. Sebab, lamanya perjalanan membuat ia malah jadi lebih lelah dan hasil pekerjaan tidak sebagus ketika bekerja dari rumah.

Di rumah, Riwaty mengaku bahwa dirinya merasa lebih percaya diri, lebih aman, dan juga merasa lebih nyaman. "Oleh karena itu, saya ingin meminta agar aturan wajib WFO 100% dikaji kembali. Sebagai pekerja, ada baiknya jika kita juga diberikan pilihan untuk dapat kerja dari rumah," ujar Riwaty. Ia juga menyampaikan bahwa ia yakin dengan adanya aturan ini dari pemerintah, kantor-kantor akan dapat lebih fleksibel sehingga pekerja-pekerja pun bisa lebih nyaman," pungkas Riwaty.

Berdasarkan fenomena tersebut, dapat dilihat bagaimana 6.598 pekerja yang menandatangani petisi yang dibuat Riwaty merasakan hal yang sama dan menginginkan WFH kembali. Namun, dikutip dari beberapa sumber berita yang lain, terdapat dua paradigma menarik terkait kebebasan pekerja untuk menentukan dimana ia bisa bebas bekerja. Mari kita bandingkan dan analisis kedua paradigma tersebut bersama sama.

Berdasarkan kedua survey di atas, terdapat hasil yang signifikan antara hasil survey pertama dan hasil survey kedua. Survey pertama yang dilakukan oleh EY PR Team terhadap pekerja di sejumlah negara di Asia Tenggara menyatakan bahwa hanya terdapat sebanyak 15% pekerja yang mau untuk kembali WFO, selain itu pekerja memilih opsi yang bervariasi seperti 23% menginginkan hybrid, 29% WFH, dan 32% sisanya menginginkan bekerja dimana saja (WFA). Sedangkan hasil survey kedua yang dilakukan oleh dataindonesia.id terhadap pekerja di Indonesia menyatakan bahwa sebanyak 44% dari pekerja menginginkan WFO. Hanya sebanyak 15% yang menginginkan WFH, 19% untuk WFA, dan 21% sisanya memilih untuk hybrid. Setelah dikaji lebih lanjut, ternyata terdapat beberapa alasan mengapa pekerja yang menjadi responden pada survey kedua lebih banya memilih untuk WFO. Alasan pertama, berdasarkan hasil survey tersebut, opsi WFO lebih banyak dipilih oleh mereka yang bekerja di sektor BUMN dan perusahaan swasta nasional. Sebanyak 63% dari mereka yang memilih WFO mengatakan bahwa WFO lebih efektif untuk melakukan interaksi sosial antar pekerja dan memudahkan proses komunikasi dan koordinasi kerja. Sedangkan sebanyak 59% dari mereka yang memilih WFO menyatakan bahwa fasilitas kerja lebih memadahi dan menunjang pekerjaan mereka saat WFO, dengan kata lain, mereka merasa tidak memiliki fasilitas yang sama baiknya untuk pekerjaan mereka ketika WFH ataupun WFA.

Tidak mau ambil pusing dengan dua paradigma yang bertolah belakang tersebut, sejumlah start up dalam negeri memutuskan untuk membebaskan para pekerjanya untuk memilih dimana mereka akan bekerja (WFA) secara permanen. Dikutip dari trenasia.com (2022) beberapa di antara start up besar tersebut adalah Blibli (2.783 karyawan), Glints (1.250 karyawan), Zenius (1.199 karyawan), Binar Academy (754 karyawan), serta Quipper (748 karyawan). Dari beberapa start up tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa mereka yang memberikan kebebasan kepada para karyawannya untuk bekerja dimana saja kebanyakan adalah mereka yang bergerak di sektor fintech, seperti halnya e-commerce (Blibli), dan juga mereka yang bergerak di sektor kursus-kursus online (Glints hingga Quipper). Tentu hal ini menjadi karakteristik tersendiri yang menyebabkan pekerjaan para karyawannya bisa dikerjakan secara fleksibel dimana saja karena memang mereka terbiasa untuk saling terhubung melalui teknologi dan digitalisasi. Hal tersebut jelas berbeda dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor logistik, misalnya.

Lantas, bagaimana titik tengah dari permasalahan ini dapat diselesaikan? Disinilah peran HRD untuk menyeimbangkan antara kebutuhan perusahaan serta keinginan pekerja. HRD sendiri adalah seseorang yang bertugas untuk menangani berbagai permasalahan terkait sumber daya manusia yang ada pada perusahaan agar dapat tetap bekerja dengan optimal demi mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan (Rahmayanti, 2021). Adapun fungsi pokok dari HRD adalah meliputi 1) Rekrutmen dan seleksi, 2) Pengembangan SDM yang meliputi pelatihan, evaluasi performa karyawan, serta manajemen kinerja karyawan, 3) Kompensasi dan benefit yang mengatur soal gaji karyawan, serta mengatur hubungan kerja yang disebut juga sebagai fungsi hubungan industrial. Dalam memandang fenomena mengenai permintaan WFH ini, HRD harus dengan tepat dan cermat dalam mencari titik tengah antara kepuasan karyawan yang akan berdampak terhadap kinerjanya (Aamodt, 2015), namun tanpa boleh mengabaikan tujuan utama dari perusahaan. Misalnya, untuk perusahaan yang bergerak pada sektor produksi, akan menjadi sangat sulit untuk memberikan WFH secara 100% terhadap karyawannya karena hal tersebut tentu akan mengganggu kuantitas dari hasil produksi perusahaan. Sedangkan perusahaan harus memproduksi sejumlah X barang dalam satu minggu. Maka dalam hal ini, peran HRD adalah yang paling krusial dalam menganalisis kebutuhan karyawan dan juga kebutuhan perusahaan.

Adapun beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan dari HRD sesuai dengan fungsi-fungsi pokoknya adalah sebagai berikut : 

  1. Pada sektor apa perusahaan ini bergerak. Seperti yang telah diulas pada pembahasan di atas, sektor-sektor yang bergerak di bidang teknologi lebih nyaman untuk WFA. Sedangkan sektor-sektor vital yang tidak boleh melakukan kesalahan dalam pekerjaannya seperti perusahaan BUMN lebih memilih WFO karena komunikasi yang baik antar pekerja dapat meminimalisir kesalahan pengambilan keputusan (organizational communication).

  2. Posisi apa saja yang bisa bekerja dari mana saja dan posisi apa saja yang harus bekerja di kantor secara terjadwal (job description).

  3. Fasilitas yang dimiliki oleh pekerja apabila mereka dipersilahkan WFH. Jangan sampai kinerja para karyawan menurun setelah WFH karena minimnya fasilitas yang mereka miliki di rumah (evaluating employee performance). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline