Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) didefinisikan sebagai sebuah kitab yang berfungsi sebagai landasan dalam menengakkan hukum pidana di Indonesia. Kitab tersebut pada dasarnya adalah salah satu produk hukum peninggalan kolonial Belanda yang dahulu bernama Wetboek van Strafrechtvoor Nederlandsch Indie (WvSNI). Namun dikarenakan substansi dari WvSNI dirasa melekat dengan unsur-unsur kolonialisme maka para pendiri bangsa mencoba merumuskan hukum pidana yang akan diterapkan di Indonesia, kemudian WvSNI diganti dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada tanggal 26 Februari 1946 melalui UU No. 1 tahun 1946.
KUHP yang saat ini kita gunakan sudah berusia tua, maka dari itu pemerintah membuat RUU KUHP, alih-alih dekolonisasi justru akan memperburuk kehidupan sosial rakyat Indonesia. Terdapat beberapa pasal yang menuai kontroversi, di antaranya, Pasal 218 terkait penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 252 tentang kepemilikan kekuatan gaib untuk melakukan tindak pidana; Pasal 432 tentang penggelandangan; Pasal 414 tentang mempertunjukkan alat kontrasepsi; Pasal 470 tentang aborsi; Pasal 604 tentang tindak pidana korupsi.
Pasal 218 ayat (1) mengenai "Penghinaan atau penyerangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden" yang menjadi salah satu ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tersebut tidaklah tepat, sebab penghinaan atau penyerangan tidak dapat dikaitkan kepada jabatan dari seorang Presiden atau Wakil Presiden. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 di mana setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah tanpa ada kecualinya, dapat diartikan bahwa tidak perlu ada pemberian kedudukan hukum yang lebih tinggi atau yang lebih khusus atau yang istimewa kepada seseorang. Sedangkan dari sisi substansi pasal ini masih bisa diakomodir oleh Pasal 439 RKUHP mengenai delik penghinaan.
Selanjutnya, pasal 252 ayat (1) tentang kepemilikan kekuatan gaib untuk melakukan tindak pidana. Tujuan dari pasal ini ialah untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam, namun secara hukum hal tersebut sulit dalam pembuktiannya di mana seyogyanya suatu perbuatan dipidana apabila perbuatan yang bersangkutan dapat diidentifikasi dan dibuktikan sesuai hukum acara yang berlaku.
Kemudian, Pasal 432 yang berbunyi "Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I". Pasal tersebut bertentangan dengan pasal 34 UUD 1945, yang mana pasal ini memberikan amanat kepada negara agar memelihara fakir miskin dan anak terlantar dengan memberi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, perlindungan sosial, dan pemberdayaan sosial sebagai wujud pelaksanaan kewajiban negara agar terpenuhinya hak kebutuhan dasar warga negara yang miskin serta tidak mampu.
Selain itu, terdapat pula Pasal 414 tentang mempertunjukkan alat kontrasepsi. Alat kontrasepsi adalah alat yang digunakan untuk mencegah kehamilan saat berhubungan seks. Dari segi perspektif sosial budaya masyarakat Indonesia, hal ini tidak lagi sesuai dengan dinamika sosial budaya masyarakat sekarang karena sex education tidak boleh dianggap tabu bagi generasi muda. Dewasa ini, kenyataannya sex education sangat diperlukan untuk memberikan pengetahuan kepada generasi muda agar tidak terjerumus pada hal-hal yang tidak baik. Ditambah masih banyak generasi muda yang belum mengetahui apa itu alat kontrasepsi dan jenis-jenisnya.
Lalu, Pasal 470 tentang aborsi menyatakan Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Apabila pasal ini disahkan maka akan muncul persoalan baru karena hal ini dapat memposisikan korban pelecehan seksual sebagai terpidana.
Terakhir, Pasal 604 tentang tindak pidana korupsi yang menyebutkan, Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori IV. Hukuman yang tercantum dalam RKUHP terlihat lebih ringan dibanding UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Dari pembahasan mengenai pasal-pasal kontroversial RKUHP maka diharapkan pemerintah melakukan pengkajian ulang terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang benar-benar bisa dijalankan dan sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia karena seyogyanya hukum yang baik adalah hukum yang dapat menyesuaikan dengan dinamika kehidupan masyarakat dimana hukum tersebut diberlakukan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H