"Demokrasi bukan hanya hak untuk memilih;
itu adalah hak untuk hidup bermartabat."- Naomi Klein
Tulisan ini tidak akan membahas "insiden" mural yang sempat viral itu. Toh, ihwal mural yang berisi kritik sosial itu telah tenggelam oleh insiden-insiden politik lainnya.
Tetapi entah kenapa, masalah mural ini telah menyeret ingatan saya kepada sosok Presiden keenam Republik Indonesia, Susiolo Bambang Yudhoyono (SBY). Saya mendadak kangen dengan kebiasaan lebih dari satu dekade lalu, berdiskusi dengan banyak aktivis kampus lintas organisasi: mengkritik SBY.
Jadi kenangan saya terhadap 10 tahun kepemimpinan pendiri dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu adalah mengkritik beliau. Alhamdulillah, saya baik-baik saja, hubungan dengan kawan yang kebetulan beraktivisme di partai berlambang mercy ini juga tak terganggu. Mereka tetap hangat, meski tahu saya termasuk getol mengkritik figur utama partai.
Bagi saya, inilah demokrasi yang asyik, berkeadaban, membuat masing-masing kita tetap bermartabat, Kawan-kawan yang berbeda haluan politik itu bisa memahami bahwa sebagai orang yang diamanahi mengelola negara, SBY "wajar" untuk dipantau dan dikritik.
Pun mereka angkat topi, bahwa sasaran kritik saya tentulah kepemimpinan dan buah kebijakannya, bukan persona Pak SBY. Tapi siapalah saya, satu noktah kecil di republik berpenghuni lebih dari 270 juta jiwa?
Baik, mari kita putar kembali ingatan ke tahun 2011, masa di mana SBY masih memimpin Indonesia untuk periode keduanya. Pada 10 Januari 2011, sejumlah tokoh lintas agama yang punya reputasi nasional, seperti Din Syamsuddin (saat itu Ketua PP Muhammadiyah), Bikhu Pannyavaro Mahathera, Pendeta Andreas A Yewangoe, KH Shalahuddin Wahid (Gus Solah), hingga rohaniawan Romo Magnis Suseno, serta banyak tokoh dan aktivis lainnya, merilis pernyataan sikap yang pada intinya menuding Presiden SBY telah melakukan kebohongan publik. Ada 18 daftar kebohongan yang mereka rilis dan nyaris menjadi headline semua media nasional saat itu.
Bagaimana respon istana? Presiden SBY tentu saja memberikan tanggapan serius, bahkan para tokoh akhirnya bertemu dan berdialog dengan SBY. Tetapi sejauh ingatan saya, saat itu SBY meski mengaku tersinggung dengan penggunaan istilah "pembohongan publik", tetapi pada dasarnya menyatakan menerima substansi kritik para tokoh nasional (Sila baca di link berikut)
Bagaimana nasib para tokoh yang mengkritik keras SBY? Sepertinya baik-baik saja, tidak ada yang terkena persekusi, tidak ada cerita salah satu mereka "diobok-obok" atau ramai-ramai diserang di media sosial.