KITA yang menikmati bangku Sekolah Dasar sebelum era reformasi, pastilah menyimpan kenangan indah saat menghapal butir-butir Pancasila, preambule UUD 1945, hingga bahkan nama-nama menteri kabinetnya Pak Harto. Bahwa ingatan itu mungkin saja sekadar hapalan di kepala dan mulut, itu lain hal. Tetapi coba tanyakan hal yang sama ke anak-anak SD saat ini, generasi Z yang begitu lahir mak ceprot mungkin sudah menyanding smartphone, hahaha.
Saya sendiri selain hapal lima sila Pancasila, preambule UUD 1945, hingga nama-nama menteri di era Orde Baru, lebih dari itu sebetulnya pernah memiliki pengalaman yang sedikit heorik (kalau ini subyektif saya sendiri) yang membuat saya begitu bangga dengan konsep nilai-nilai konstitusi Negara kita. Salah satu pengalaman membekas itu adalah saat duduk di bangku SMA.
Saat kelas 1 SMA, saya pernah terlibat perdebatan kecil di dalam kelas. Debat kecil tapi cukup panas. Pun pada awalnya dengan sesama teman sekelas (kelompok kecil) yang tengah mempresentasikan tugas mata pelajaran ekonomi. Saya tak mengingat pasti judul makalahnya, tetapi pembahasannya tentang sistem ekonomi dunia (kalau tidak salah).
Saat itu, saya bertanya dengan nada menggugat, bahwa ketergantungan Indonesia pada hutang luar negeri, terutama dari lembaga IMF dan World Bank, justru menjadikan Indonesia tidak bisa mandiri. Karena selain APBN akan terus terbebani untuk membayar cicilan hutang berikut bunganya yang tinggi, selalu ada syarat-syarat yang dituntut oleh kreditur menyangkut kebijakan ekonomi Negara yang berhutang. Dan tentu saja syarat-syarat dimaksud mengarah pada liberalisasi ekonomi sebagaimana ideologi ekonomi (dan politik) yang dianut Negara-negara kreditur. Jadi, kenapa tidak untuk memutus ketergantungan itu dengan IMF dan World Bank, begitu pertaanyaan saya.
Singkat cerita, teman-teman yang sedang presentasi tetap kekeh menolak pertanyaan dan pernyataan saya, meski cukup kewalahan menjelaskan alasannya. Saya pun tak mau kalah, terus membantah jawaban mereka. Karena cukup memanas, perdebatan langsung diinterupsi oleh guru pengampu. Dia bahkan ikut memberikan pembelaan terhadap kelompok yang tengah presentasi.
Saya pun sempat mendebat pendapat sang guru yang dengan absolut menyatakan Indonesia mustahil memutus hubungan dengan IMF dan World Bank, karena sistem ekonomi dunia memang seperti itu.
Sayangnya sanggahan saya yang seorang diri itu disudahi oleh sang guru secara adat, akhirnya perdebatan dan diskusi pun berakhir. Meski pergolakan batin saya justru mendidih. Saya meyakini, setidaknya saat itu (tahun 1998), tatanan ekonomi dunia yang berpaham liberal kapitalistik itu alih-alih membantu Negara berkembang, justru menghalangi Negara itu untuk maju dan mandiri.
Inti yang menjadi kekuatan utama ekonomi Pancasila disebutnya tercermin dalam Pasal 33 UUD 1945 yang ekspresi pendukungnya bisa dilihat juga pada Pasal 27, Pasal 31, dan Pasal 34 UUD 45. Ada baiknya penulis uraikan sedikit memori pengetahuan yang membuat saya mengagumi Pancasila dan UUD 1945 sejak kelas VI SD.
Pertama, secara prinsip dasar konsep dasar ekonomi Pancasila adalah senafas dengan nilai-nilai ekonomi Islam. Bahkan, bolehlah disebut bahwa ruh dari ekonomi Pancasila adalah nilai-nilai Islam. Pertama, tentu mempertimbangkan fakta bahwa para penyusunnya sebagian besar adalah tokoh Islam dan berlatar belakang ulama-cendikia, seperti ada dalam diri Moh Hatta, H Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan lainnya. Jadi, kalau ada pertanyaan yang menghadapkan Pancasila dengaan Islam secara oposisi biner, saya malah bingung.
Yang kedua, prinsip dasar ekonomi Pancasila cenderung bersifat ekletik yang berpijak pada prinsip dasar Islam yang moderat (wasathan). Tidak heran, semangat ekonomi Pancasila adalah beyond capitalism and socialism. Sederhananya, kalau ekonomi kapitalisme berpijak pada kekuatan individualisme, persaingan dan liberalisasi pasar, privatisasi, dan sejenisnya, sedangkan sosialisme/komunisme mentahbiskan peran Negara dengan semangat awal menyetarakan kepemilikan atas faktor-faktor produksi, di mana sebagian besar dimiliki dan dikelola oleh Negara, serta pembatasan maksimal atas kepemilikan individu atas faktor-faktor produksi.