Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Saefudin

An Amateur Writer

Having or Being, Gontor dan Puasa Ramadhan

Diperbarui: 21 Maret 2021   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: pai.unida.gontor.ac.id

Islam adalah agama yang tidak didikte oleh materi. Begitu kata Gus Baha (KH Bahauddin Nursalim) dalam sebuah ceramahnya. Ini keren sekali. Bahwa seorang Muslim itu semestinya hanya didikte oleh Allah, bukan oleh orang lain, lingkungan, keinginan dan kesenangan yang menjadikan perbuatannya terombang-ambing oleh situasi. Ini bukan soal menghadap-hadapkan yang duniawi (profan) dengan akhirat (sakral) secara oposisi biner, melainkan lebih dari itu adalah soal kemerdekaan eksistensial bagi manusia.

Salah satu riwayat yang dijadikan contoh Gus Baha adalah insiden yang menimpa Sayidina Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah peperangan, Ali radiyallahu anhu yang sudah berada di atas angin mendadak mengurungkan niatnya membunuh musuhnya. Penyebabnya simpel, sesaat setelah musuh tersungkur dan Ali hendak menghunuskan pedangnya, lawannya ini meludahi wajah Ali. Maka Sayidina Ali memilih menyarungkan kembali pedangnya, sebab alih-alih karena Allah dan Rasulnya seperti semangat awal, justru nafsulah yang memotivasinya membunuh, meski di sebuah medan tempur.

Inilah manifestasi sikap bertauhid, yakni sebenar-benarnya meng-Esakan Allah. Pun sekaligus ini menjadi perwujudan sebagai Muslim, sikap tunduk patuh pada hukum dan ketentuan Allah (sunnatullah). Sebagai pemilik akal budi, semestinya manusia adalah raja atas keinginannya, bukan malah keinginan yang mengendalikannya. Meski kenyataan hidup pada era kapitalistik saat ini faktanya mungkin jauh panggang dari api dengan prinsip tersebut.

Secara umum, alam pikir manusia modern justru dituntun oleh keinginan dan angan-angannya, utamanya hasrat memiliki, hasrat konsumsi. Hebatnya lagi, pilihan untuk mengejar kepuasan tersebut sejatinya tak lebih sebatas apa yang tersaji dalam etalase kapitalisme. Bahkan dalam momentum keagamaan sekalipun.

Tengoklah suasana "Bergama" selama puasa dan terlebih lagi menjelang lebaran, praktis sebagian besar orang berlomba-lomba memenuhi keinginan dan kepuasannya. Maka ruh ibadah puasa yang semestinya mengajarkan hidup prihatin sebagai wujud mengempati kaum papa, justru bisa menjelma menjadi histeria massal mengkonsumsi.

Erich Fromm dan Gontor

Dalam dunia keilmuan, problem masyarakat modern ini telah banyak diulas oleh para teoritisi sosial kritis, salah satu yang menonjol adalah Erich Fromm dari Mazhab Frankfurt. 

Dalam bukunya "To Have or To Be", Erich Fromm mencoba menyajikan dua motif eksistensial manusia modern, yakni memiliki (having) atau menjadi (being). Buku ini pada dasarnya sebagai kritik atas kecenderungan masyarakat modern yang disebut Fromm terlampau didominasi oleh modus having. 

Masyarakat modern hidup dalam dominasi kebendaan yang akut, dengan orientasi pemenuhan hasrat kepuasan atas materi. Modus kepemilikan ini bahkan pada akhirnya menjelma menjadi penanda identitas manusia modern, sehingga sejatinya mencerabut manusia dari nilai eksistensialnya sebagai manusia.

Sebagai solusi, Fromm menawarkan modus being sebagai cara menjaga kewarasan di alam modern yang hedonis ini. Melalui konsep masyarakat being ini, Erich Fromm seolah ingin menegaskan kembali peran akal budi, aktif menggunakan dan mengolah batin (pikiran) nya, tidak terjebak dalam kehidupan yang mekanik. Selain ditandai dengan karakter mandiri, bebas, dan kritis, masyarakat being juga memberi ruang bagi hasrat tinggi dalam giving and sharing, serta bahkan berkurban satu sama lainnya.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline