Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Saefudin

An Amateur Writer

Memimpikan Idul Fitri Tanpa Pandemi, Mungkinkah?

Diperbarui: 10 April 2020   11:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar diambil dari https://assets.pikiran-rakyat.com/crop/0x0:0x0/x/photo/2020/03/31/3664535757.jpg 

DUA pekan lalu, sekitar akhir Maret, saya ingin sekali membuat tulisan dengan judul kurang lebih; “Membayangkan Ramadhan Tanpa Pandemi Covid-19”. Kenapa? Pertama, sebagai Muslim saya tidak atau belum bisa membayangkan bagaimana menikmati suasana ramadhan di tengah wabah virus corona. Sama sekali tak siap membayangkan bagaimana sebulan puasa tanpa hiruk pikuknya shalat tarawih, ramainya jamaah subuh, hingga nikmatnya ngabuburit sore hari, berburu takjil sambil menunggu waktu berbuka. Sedih dan miris membayangkan bahwa nanti, Bulan Suci Ramadhan 1441 H, akan dilalui dalam suasana amat lengang.

Kedua, oleh perkembangan kasus Covid-19 hari per hari yang grafiknya masih terus menanjak cepat, kekhawatiran itu serasa makin mendekati kenyataan. Maka keinginan menuliskan tersebut di atas kian menggebu. Seperti menemukan alasan mulia untuk menuliskannya. “Ayo berpikir positif, optimis, pandemi Coronavirus Desease 2019 ini akan berakhir sebelum ramadhan,” kurang lebih begitulah suasana batinku. Toh konon, pikiran yang baik, kata-kata yang baik, akan membangunkan kenyataan.

Sayangnya, kesempatan menuliskannya tak kunjung datang. Kalaupun ada kesempatan, mood tengah hengkang. Sampai akhirnya, dua hari terakhir, muncul kampanye hoaks yang cukup viral di media sosial. Pesan itu mengajak masyarakat Indonesia berhenti total beraktivitas di luar selama tiga hari, 10-12 April 2020. Alasannya, virus tidak bisa dipindahkan. JIka dalam 24 jam tidak dipindah, virus mati sendiri.

Maksud kampanye gerakan stay at home selama tiga hari itu tentu sangat baik, berangkat dari kesadaran untuk menghindari interaksi sosial, physical distancing sebagai cara menghambat penularan Covid-19. Namun di balik hoaksnya isi pesan tersebut, justru tersirat bagaimana besarnya kecemasan publik, sedikit frustasi mungkin, sehingga mudah menerima anjuran, himbauan, kampanye yang sebetulnya kurang bisa diterima akal sehat. Bukankah para ahli sendiri menyebut masa inkubasi virus corona itu sampai 14 hari?

Nah, karena kampanye hoaks itu pula, saya memilih realistis –untuk tak menyebutnya pesimis- bahwa rmadhan yang tinggal hitungan hari ini akan terbebas dari corona. Tetapi seperti tulisan saya sebelumnya, optimisme tentu harus dibangun. Pun bukan optimisme pasif, berdiam diri sambil menunggu pemerintah atau pihak lain berikhtiar menghalau Covid-19. Saya menyebutnya optimisme aktif, di mana setiap kita yang optimis mengikhtiarkan perwujudannya.

Pertama-tama, saya perbaharui optimisme ini menjadi lebih realistis dan logis tentunya. Targetnya seperti terangkum dalam judul, yakni membayangkan (baca: mengharapkan) idul fitri tanpa pandemi Covid-19. Apakah mungkin? Bagaimana caranya?

Jawaban klisenya, tidak ada hil yang mustahal. Tidak ada yang tidak mungkin. Kenapa masih realistis dan logis, ya karena rentang waktu tersisa masih memungkinkan bagi kita semua untuk mewujudkan impian ini. Kuncinya terutama ada di pundak umat Islam. Ini saatnya umat yang merasa mayoritas melakukan gerakan sosial masif melawan Covid-19. Dan momentumnya adalah saat Bulan Suci Ramadhan. Selama satu bulan nanti, umat Islam di Indonesia memiliki kesempatan emas untuk melumpuhkan persebaran virus corona.  

Caranya? Tidak ada protokol khusus yang benar-benar baru. Cukup selama sebulan puasa nanti, umat Islam menjalankan apa yang selama ini dianjurkan pemerintah dan para ahli: stay at home. Tak terkecuali menyangkut aktivitas ibadah ramadhan yang berkeramaian, seperti shalawat tarawih hingga shalat rawatib sementara diganti dengan jamaah di rumah. Toh, dari MUI, PBNU sampai PP Muhammadiyah juga sudah memaklumatkannya. Bahkan jika perkembagan Covid-19 belum juga terkendali, shalat idul fitri dianjurkan untuk ditiadakan. Semua itu semata-mata demi menghindari kemudaharatan yang lebih besar. Seperti sebuah kaidah masyhur dalam ushul fiqh, bahwa menghindari kemudharatan itu harus didahulukan dari mengundang kebaikan.  

Ya, kunci utamanya adalah tetap tinggal di rumah. Tidak keluar kecuali untuk hal-hal yang penting, seperti membeli logistik untuk sahur dan berbuka. Toh aktivitas ini bisa dilakukan tiga hari sekali. Pun kalau terpaksa keluar dari rumah, semua protokol pencegahan harus benar-benar dijalankan; menggunakan masker, tidak salaman, jaga jarak, dan cuci tangan sebelum masuk rumah.

“Ya itu mah gampang untuk orang-orang kaya yang uangnya banyak. Bagaimana dengan orang miskin yang harus bekerja agar bisa makan hari ini? Bagaimana orang-orang kecil yang mencari uang dengan berjualan takjil dan lainnya?" Ini pertanyaan paling utama yang harus dijawab, dicari solusinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline