Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Saefudin

An Amateur Writer

Disepelekan? Agh, Sudah Biasa

Diperbarui: 23 Juni 2019   15:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://cdn.moneysmart.id/ 

"Maaf , Pak Ketua. Ada wartawan mau wawancara," kata satu-satunya orang yang kukenal di forum itu. Di antara desakan orang di rumah tempat acara berlangsung, aku hanya berjarak kurang lebih 3 meter, jadi di antara lalu lalang suara orang, suaranya masih kudengar cukup jelas.

Sementara sosok lelaki yang dimintai waktu adalah orang penting. Usianya tidak terlalu muda, tetapi namanya sering disebut sebagai salah satu tokoh muda nasional. Dia merupakan salah satu pendiri sekaligus ketua umum dari sebuah partai baru yang akan berkontestasi di tahun depan. Tetapi seperti prediksiku, permintaan temanku - yang juga ketua pimpinan daerah untuk partai yang dibesut si tokoh muda-, tak cukup mampu menarik perhatiannya.

"Nanti dulu, Mas. Dari media lokal kan? Coba tunggu dulu saja," jawabnya. Meski sudah terbiasa, tetap saja jawaban semacam itu sedikit membuatku tersungging, eh tersinggung. Terlebih, dia menyatakannya sambil melirikku, lelaki kurus, wartawan media lokal, yang dia tahu ingin meminta waktu wawancara.

Akhirnya, aku terpaksa menunggu. Ya, menunggu waktu luang si tokoh muda yang mengesankan diri sedang sibuk. Biarlah, nasib jurnalis lokal, tentu tak menarik minatnya. Aku yang saat itu mengajak mantan kekasih yang belum lama kunikahi, sempat bosan juga menunggu kesempatan wawancara. Maklum, hari itu sebetulnya jatah libur untuk kuli tinta seperti aku. Kalau saja bukan teman yang meminta liputan, saat ini aku sedang jalan-jalan bereng istri tentunya.

***

Disepelekan narasumber, apalagi mereka yang merasa tokoh nasional, memang sudah biasa bagiku. Sempat juga aku membatin, apakah orang penting selalu punya kecenderungan underestimate seperti itu. 

Di lain waktu, pernah juga seorang teman dekat memintaku dengan memaksa agar mewawancarai ekslusif seorang tokoh nasional yang sedang naik daun. Aku yang sebetulnya sudah apriori, terpaksa menuruti kesempatan wawancara ekslusif, karena memang tak ada jurnalis atau media lain yang diundang.

Tetapi begitu ketemu, si tokoh sempat malas-malasan, seperti kurang minat. Karena si tokoh ini seorang intelek, sebut saja cendekiawan muda, modalku hanya dua: isu aktual plus wawasan soalan yang sesuai konsentrasi si tokoh. Ini jadi ritualku setiap hendak ngobrol atau mewawancarai seorang tokoh, malamnya pasti nyari bekal, sekecil apapun. Ayahku dulu sering menyebutnya well prepared.

Singkat cerita, sesie wawancara selesai, ditutup dengan makan bersama. Aku pun pamit. Keesokan hariya, si tokoh meminta transkrip produk beritanya, tentu saja lewat kawanku. Kurang lebih seminggu berikutnya, aku dikabari kawanku. "Mas, hasil wawancaramu ternyata diunggah ke website lembaga Bang Ali (nama samara). Selamat ya...,".

Aku berpura cuek, tetapi malamnya kubuka juga link yang dikirimkan kawanku via SMS. Wah, ternyata lembaga dialog agama dan kemanusiaan. Nama website-nya, seperti nama lembaganya, berbahasa Inggris. Bahkan website-nya juga menyediakan dua versi bahasa. Agh, perasaanku tak karuan melihatya. Satu sisi, tentu masih sebel dengan caranya memperlakukanku. Tetapi dia-diam ada perasaan puas juga, bahwa produk tulisanku diunggah di website-nya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline