SAMPAI saat ini, aku belum bisa membayangkan bagaimana seorang bapak nekat memboncengkan istri dan anaknya yang masih belia dengan sepeda motornya. Mereka menumpuh jarak ratusan kilometer yang penuh resiko hanya untuk menuntaskan kerinduan pada keluarga dan kampung halaman. Itulah mudik, ritual tahunan menjelang lebaran yang seolah telah menjadi 'kewajiban sosial'.
Faktanya, ritual mudik memang selalu ngangeni. Aku sendiri sempat menikmati momen-momen on the way mudik itu selama kurun waktu tahun 1995 sampai 2001. Tenang, aku belum tua-tua amat kok, hahaha. Jangan salah, aku menjalani aktivitas mudik perdana pada usia kelas 6 SD, ya di tahun 1995 itu. Pun seorang diri, tak satupun keluarga yang menemani. Saat itu, aku yang tinggal di Bogor, hanya diantar sampai ke Terminal Pulo Gadung. Selebihnya, aku mencari dan menaiki bus sendiri sampai ke Tegal, kampung halamanku.
Jangan bayangkan kondisi Pulo Gadung hari ini. Dulu, terminal bus utama di Jakarta itu identik dengan cerita-cerita aksi kriminal, dari mulai preman yang merangkap calo, copet dan jambret, sampai pedagang asongan yang menjual barang dagangan ke penumpang bus dengan memaksa. Oiya, satu lagi, pengamennya pun tak kalah mreman.
Saat itu H-7 lebaran. Pulo Gadung sudah penuh sesak orang yang akan mudik ke Pulau Jawa hingga Sumatra. Oleh sopir ayah angkatku, aku diturunkan persis di depan gerbang utama terminal. Sementara mobil bergegas pergi, tiga orang bertampang preman langsung menghimpitku, dua berperawakan tinggi besar dengan logat Batak (maaf, tak bermaksud mendiskreditkan Suku Batak), dan satu lagi agak kurus dengan dialek Betawi.
Bisa dibayangkan situasinya, aku yang masih aimt-amit, eh imut-imut, tiba-tiba dihimpit tiga orang asing. Dua tas jinjing penuh muatan langsung direbutnya dengan kasar, sambil bertanya dengan setengah membentak. "Mau ke mana?," ucap salah satu lelaki bertubuh besar. Dalam situasi terjepit, aku mengingat-ingat pesan teman-temanku di asrama Pondok Yatama Sakin, terutama yang asli Jakarta.
"Nggak, Bang. Lagi nunggu teman," kataku. Tapi alibi itu ternyata tak mempan. "Woi, ditanya jawab yang bener !," tukas lelaki tadi. Aku tetap memberi jawaban yang sama. Sayangnya, itu tak juga berhasil. Karena semakin terdesak, akhirnya kujawab jujur. "Mau ke Tegal, Bang".
"Nah, gitu kek dari tadi. Sini, tak carikan tiket bus ke Tegal," timpalnya. Kedua tas diserahkan kembali ke tanganku. Dua lelaki bertubuh besar berjalan di depan dengan cepat. Mungkin sedang kejor setoran. Sementara satu lelaki bertubuh kurus ditugaskan menggandeng tanganku, memastikan mangsa buruan tak lepas.
Dari teman-teman sepondok pula, aku diwanti-wanti agar tak membeli tiket ke calo. Selain harganya bisa melambung hingga dua kali lipat, tak jarang bus yang ditunggu pun tak datang, sehingga dialihkan ke bus lain yang tak jelas. Sambil berjalan menuju loket-loket tiket yang berjejer di salah satu sudut bangunan terminal, aku berpikir keras bagaimana bisa lepas dari kungkungan para calon ganas itu. Mungkin naluri survival yang otomatis muncul saat situasi terjepit. Guruku menyebutnya The Power of Kepepet.
Benar saja, layaknya film action, mendadak aku melihat celah untuk kabur. Ndilalah, dua lelaki bertubuh kekar berjalan terlalu cepat, sementara yang menggandeng tanganku berjalan gontai, hingga menyisakan cukup jarak. Entah karena pengaruh alkohol atau baru saja nyimeng, si calo kurus itu tak sadar ketika secara pelan dan perlahan tanganku melepas dari dari genggaman. Tak menunggu lama, aku menahan langkahku lantas berlari kencang. Untuk menghilangkan jejak, aku masuk ke kerumunan penumpang yang sedang menunggu bus. "Alhamdulillah, aman," batinku.
Baru rileks sejenak, seorang penjual jam tangan memepetku. Menunjukkan salah satu produknya, dia memaksaku membelinya. Aku menolaknya, karena memang sudah punya. Tapi dia tak percaya. "Jangan bohong lu, coba liatin," bentaknya. Beruntung, masalah selesai saat kuambilkan jam tangan dari dalam tas jinjingku.