DUA tokoh itu tak memiliki hubungan pemikiran secara langsung. Tetapi kronologi aku jatuh cinta dengan pemikiran Nurcholish Madjid benar-benar tak bisa dilepaskan dari pengaruh Erich Fromm, salah satu pemikir paling menonjol dari Mazhab Franfrut. Pada akhirnya, pemikiran Cak Nur benar-benar membuatku terpesona. Dia adalah sedikit dari cendekiawan Muslim Indonesia yang berhasil mewariskan bangunan pemikiran yang utuh tentang konsep keislaman dan keindonesiaan.
***
Di sekitar 2004, aku yang sudah memasuki semester empat Program Studi Sosiologi di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, diminta dosen pembimbing untuk segera mengajukan judul proposal penelitian. Sesuai prosedur, tiga opsi judul harus diajukan. Saat itu, buku-buku Erich Fromm sedang digandrungi banyak aktivis kampus, terutama lewat salah satu buku monumentalnya, The Art of Loving.
Bisa ditebak, aku menjadi salah satu yang terpengaruh. Buku-buku karya Fromm kuburu sampai Jogja, hingga dua dari tiga judul yang kuajukan sebagai proposal penelitian adalah studi pemikiran tokoh teori sosial kritis itu. Yang tak lazim adalah satu judul lainnya, tanpa perencanaan sebelumnya, tiba-tiba saja kutuliskan usulan judul; Islam dan Negara: Studi Pemikiran Nurcholish Madjid.
Mungkin benar, tidak ada hal yang kebetulan. Karena mekanisme takdir akhirnya bekerja. Alih-alih memutuskan usulan judul mana yang akan kujadikan obyek penelitian, dosen pembimbing malah menyatakan ketiga judul layak untuk dilanjutkan. "Silahkan, Mas Saefudin pilih sendiri, judul mana yang mau diambil," kata sang dosen di hadapanku.
Aku yang tak sebelumnya tak membayangkan kemungkinan itu, lagi-lagi membuat keputusan spontan. Cak Nur lah yang kupilih. Dan deal, dosen pun mengamini. Selanjutnya bisa ditebak, buku-buku Fromm yang menumpuk kusingkirkan ke rak, giliran aku memburu karya-karya pendiri Universitas Paramadina itu.
Sejak itu, aku mulai berinteraksi intens dengan buku-buku Cak Nur yang cukup banyak. Secara perlahan, semakin dalam aku melahap buku-buku Cak Nur, semakin aku terkagum-kagum dengan pemikiran Nurcholish Madjid yang ternyata memiliki akar pondasi yang kuat, baik pada khazanah klasik keislaman, metodologi modern, dan latar keindonesiaan.
Sayangnya, di tengah proses penyelesaian skripsi, sang Guru Bangsa wafat, tepatnya pada 29 Agustus 2005. Aku sempat meratapi kepergiannya. Meski tak pernah bertemu, membaca karya-karyanya membuatku serasa mengenal sosok Nurcholish Madjid. Anak dari simpatisan Masyumi yang terpaksa pindah pesantren ke Gontor, berlanjut ke IAIN Jakarta, dan akhirnya menajamkan pemikiran keislamannya di Chicago University.
***
Di Chicago, Cak Nur bertemu dengan Guru Besar Studi Islam asal Pakistan, Prof Fazlur Rahman, salah satu intelektual yang banyak mempengaruhi alam pikir Cak Nur. Atas fasilitasi Cak Nur pula, Fazlur Rahman pernah menyambangi Indonesia. Saat itulah pakar studi Islam itu menyoroti cerdik pandai Indonesia yang disebutnya lebih gemar berlama-lama di atas podium ketimbang menuangkan pemikirannya menjadi buku. Padahal, dengan buku, pemikiran itu akan monumental, berumur panjang.