SIAPA tak ingin hidup sukses? Setiap orang tentu memimpikannya, terlepas dari gambaran kesuksesan yang berbeda-beda untuk setiap kepala. Sebagian mampu mewujudkan, sebagian lainnya gagal atau minimal belum berhasil.
Tahukah, meski setiap orang mengingini sukses, tetapi tidak setiap orang mau dan mampu menapaki jalan kesuksesan yang bahkan sudah dipahaminya. Kata orang bijak, kesuksesan itu manja, maka harus dijemput. Ia tidak serta merta menghampiri para peminat, tidak taken for granted, tetapi harus dijemput, diikhtiarkan, diperjuangkan, dibantingtulangkan.
Bukan Tuhan menghalangi kesukseskan, pun bukan semesta tak mendukung. Tetapi bagi sebagian orang, dia sendiri yang menghalangi jalan suksesnya. Termasuk aku. Ya, aku sendiri yang sering mencegah langkah menapaki jalan, going on success.
Akulah yang sering membatin, "Ach, apa aku mampu meraihnya?", bahkan sebelum benar-benar menapakkan kaki. Aku pula yang sering dihantui bayang kekhawatiran. "Wah, kalau aku ke sana, nanti orang-orang bagaimana ya. Agh, ga enak lah,".
"Aku sudah jenuh dengan pekerjaan ini, ingin sesuatu yang baru. Tetapi kalau resign, nanti dari mana dapat uang, makan dari mana?"
"Aku ingin sekali merintis bisnis sendiri seperti dia yang sukses. Tapi modalku dari mana? Iya kalau sukses, kalau gagal bagaimana?,"
Dan banyak lagi cara berpikir yang bahkan menghalangi jalan kesuksesan kita di awal. Pun setelah memutuskan mencoba hal baru, keluar dari zona nyaman. Dua tiga kali gagal. "Duh, kalau begini rugi, terus dong. Ach, mungkin rejekiku memang bukan di sini..."
Begitulah kita, tepatnya aku. Punya ambisi besar untuk sukses, punya potensi yang dibutuhkan, tetapi tidak mau serius menapakinya. Mungkin seperti Chris Langan yang ber-IQ 190, mengalahkan Albert Einstein yang hanya 150. Tetapi semua orang tahu bagaimana kondisi keduanya.
Saat ruas jalan utama yang biasa kita lalui rusak parah, kita mengeluh, protes kapan jalan akan diperbaiki. Berselang waktu, sejumlah pekerja turun memperbaiki jalan. Membongkarnya lebih dulu karena ditingkatkan kuaitasnya dari aspal ke rigit beton. Aku kembali mengeluh, merasa perjalanan terganggu.
Kita sering menginginkan sesuatu yang baik, tahu bahwa itu baik, tetapi tak cukup sabar menanti dan menapaki proses menuju baiknya. Maafkah aku, Tuhan. ***