Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Saefudin

An Amateur Writer

Maaf Tuhan, Aku Menghalangi Kebahagiaanku Sendiri

Diperbarui: 7 Agustus 2019   22:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: hopecitypdx.com

KEJADIAN pagi tadi sedikit mengusikku. Aku berangkat ke kantor dengan mood yang buruk. Penyebabnya sepele, soal sarapan. Aku yang sedikit terburu-buru harus kecewa saat membuka tudung di meja makan. Menu yang tersaji benar-benar tak menggugah selera. Meski sudah beberapa tahun tinggal di Pekalongan, aku belum juga berdamai dengan menu khasnya: megono. Olahan gori plus bumbu dan rempah-rempah. Jadilah niat sarapan kuurungkan.

Alih-alih mengisi perut, aku nglintis memacu sepeda motorku tanpa pamit ke istri. Perasaan bad mood terbawa di jalanan. "Lagi-lagi megono, apa nggak ada menu lain. Toh tidak harus mahal," batinku.

Ya, batinku berbincang; bertanya dan jawab sendiri. Kekesalan itu terus berkecamuk, hingga gas motor kutarik lebih kencang. Aku masih mengomel sendiri di jalanan sampai sebuah pemandangan di trotoar mencuri perhatianku.

Dua anak kecil tengah berlarian dengan riangnya, anak yang lebih besar (mungkin kakaknya) menggengam plastik berisi teh hangat (karena tampak tanpa bongkahan es). Sebuah sedotan warna hijau menjulur.

Sesekali bungkusan teh hangat itu disodorkan ke adiknya. Keduanya lantas tertawa bareng dan kembali berlarian. Kejadian itu memang berlangsung cepat, karena laju motorku yang sedikit ngebut. Tapi entah kenapa, episode mereka berlarian sambil tertawa riang lantas menyeruput teh hangat itu menjadi tampak mendetail, serupa adegan slow motion.

Mereka berlari searah laju motorku. Selang sesaat keduanya berhenti menghampiri bapak ibunya yang tengah sibuk menambal ban di trotoar jembatan. Ini lebih mengagetkanku. Aku sedikit tahu suami istri paruh baya yang sehari-hari menjajakan jasa menambal ban di salah satu jalan protokol Kota Pekalongan itu.

Suatu pagi dalam rute yang sama, aku pernah menambal ban motorku yang bocor di tempat itu. Saat itulah aku tahu, suami istri beserta dua anaknya itu terbiasa bermalam di emperan jembatan. Sebuah becak yang mereka bawa itu berisi peralatan tambal ban dan sebagian lagi perkakas rumah tangga, seperti pakaian dan lainnya. Saat itu, kedua kakak beradik itu bahkan masih tertidur pulas beralaskan tikar di samping jembatan.

Agh, perasaanku mendadak campur aduk. Laju motor mendadak memelan. Kok bisa sebungkus teh hangat sedemikian menggembirakan bagi anak-anak kecil itu. Usia anak yang sedang gemar-gemarnya jajan.

Orang tua mereka pun hanya penambal ban, tuna grahita pula. Kenapa aku tak bisa seceria mereka hanya karena soal menu sarapan. Bukankah uang didompet lebih dari cukup untuk membeli menu sarapan lainnya?

"Maaf Tuhan, aku malu karena menghalangi kebahagiaanku sendiri".***

________________

Based on true story




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline