Lihat ke Halaman Asli

Akhmad Saefudin

An Amateur Writer

Menulislah, agar Ingatan Orang tentangmu Melebihi Usiamu

Diperbarui: 28 Juni 2020   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi

SAAT mengunjungi Indonesia di medio 1980 an, Guru Besar Pemikiran Islam Universitas Chicago, Prof Fazlur Rahman, konon menyoal kecenderungan tokoh Indonesia yang lebih senang berlama-lama orasi di atas podium ketimbang menuliskan gagasannya. Padahal, dengan menulis, pemikiran mereka justru menjadi monumental.

Fazlur Rahman tak sekadar mengkritik, dia punya kredibilitas karena pemikiran dan karya tulisnya yang mendunia dan banyak mempengaruhi orang. di Indonesia, tokoh bangsa sekaliber Nurcholish Madjid bahkan mengakui besarnya pengaruh Fazlur Rahman, utamanya dalam diskursus Islam dan kemoderenan. Dan siapapun mafhum, Cak Nur adalah satu dari sedikit tokoh Indonesia yang sangat produktif karya tulisnya.

Salah satu buku monumentalnya; Islam, Doktrin dan Peradaban, bahkan memuat kata pembuka sepanjang 100 an halaman dengan analisa mendalam serta kaya referensi. Bayangkan bagaimana isinya. Cak Nur rupanya menginsafi betul, di luar menghidupkan tradisi yang pernah ditorehkan peradaban emas Islam di masa silam, alumnus Gontor juga ingin mewariskan pemikiran Islam modern-moderat (wasathitat-Islam) ke masyarakat Muslim setelahnya.

Benar kata Fazlur Rahman, karya tulis memang monumental, ia akan selamanya menjadi dokumen sejarah. Sebuah pemikiran yang dutuliskan akan berumur lebih panjang, melebihi usia penulisnya, sehingga bisa diwariskan ke generasi berikutnya.

Andai saja para filusuf dan pemikir kuno tak menuliskan pemikirannya, kita tentu tak akan pernah mengenal nama-nama besar Aris Toteles, Plato. Atau pemikir Muslim macam Ibnu Shina, Ibnu Rusy, Al Jabar, Al Farabi. Atau filusuf Eropa macam Imanuel Kant, Karl Marx, Weber, Auguste Comte, dan lainnya.

Tradisi tulis juga sesungguhnya lebih menggambarkan sebuah kualitas peradaban, ketimbang tradisi lisan. Kesimpulan itu juga bisa jadi ikut memberikan penjelasan kenapa ada kesenjangan kualitas perdebatan pemikiran antara para politisi dan tokoh bangsa di awal kemerdekaan dengan di era saat ini.

Padahal, perdebatannya sangat tajam dan mendasar, menyangkut ideologi, sebut saja pemikiran Natsir versus Soekarno. Sebuah dialektika pemikiran yang mencerahkan dus mendidik. Mereka bisa berdebat sangat panas di dalam ruangan, tetapi sekeluarnya bisa gayeng ngopi bareng. Sementara perdebatan politisi zaman now cenderung dangkal dan vulgar, miskin citarasa berbahasa.

Produk tradisi  lisan memang tak berumur lama, mudah dilupakan dan pastinya tak efektif dan efisien. Dulu, Bapak saya sering menyampaikan anekdot ini:

"Coba biasakan mencatat poin-poin tashiyah saat pengajian seperti Isro Mikroj atau Maulid Nabi. Tahun depan, undang pemateri yang sama, silahkan buka catatannya. Kemungkinan besar sama bukan?"

Ya, itulah sisi lemah tradisi lisan. Karena mudah lupa, maka kita berpotensi menerima pengulangan pesan yang sama. Sebuah pidato atau ceramah panjang berdurasi dua jam misalnya, kalau itu dituangkan dalam tulisan, bisa jadi tak lebih dari dua halaman.

Sehebat apapun kata-katamu hari ini, esok mungkin hilang dari ingatan orang. Tetapi sekecil apapun karya tulisanmu, ia tak lekang oleh waktu, abadi. Menulislah, agar kenangan orang tentangmu lebih panjang dari usiamu. ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline