SALAH satu cara termudah mengukur kualitas keadaban sebuah masyarakat atau bangsa dewasa ini, konon, dari jalanan. Seremeh itukah? Boleh jadi obyeknya remeh temeh, tapi sejumlah indikator keadaban sesungguhnya terrekam di jalanan. Salah satunya soal keinsafan atas hak dan kewajiban sebagai pengguna jalan raya.
Seorang dosen bahkan pernah mengkritik keras perilaku dualisme mahasiswanya yang bangga mengaku aktifis pergerakan. Karena menurut dia, perilaku para aktifis di jalan raya sering tak mencerminkan kapasitas moral-intelektualnya.
"Sering demonstrasi memperjuangkan hak rakyat, tapi perilaku mereka saat berkendara juga tak menghormati hak pengguna jalan lain. Sering main serobot, ngebut, gak pakai helm," ucap sang dosen ketus.
Mungkin tidak semua aktifis atau secara umum mahasiswa itu semrwaut di jalanan. Tapi kritik sang dosen juga ada benarnya, kadang ucapan dan perilaku tak selaras-harmonis. Tidak sedikit, mereka atau bahkan kita yang mengaku berpendidikan, tetapi perilaku berlalu lintasnya justru tak mendukung.
Sang dosen serta beberapa kawan yang pernah hidup di negeri orang itu juga bukan tanpa alasan saat memprihatinkan budaya lalu lintas masyarakat di negeri sendiri.
"Di Australia, Singapura, secara umum lalu lintasnya berbudaya. Setiap pengguna jalan berprinsip give a way, berikan jalan untuk pengendara lain yang lebih berhak. Di kita sebalikknya, give me a way, yang penting saya dapat jalan, meski harus potong kompas, serobot sana serobot sini yang membahayakan keselamatan pengguna jalan lain"
Penjelasan itu sedikit menohok. Betapa sering kita dibuat kesal dengan perilaku pengendara yang hanya memperdulikan dirinya, sehingga hakk orang lain terrampas. Bukan hanya soal ibu-ibu pengendara motor matic yang belok kiri dengan riting kanan, tapi juga soal mereka yang suka menyalip dari lajur kiri, menyerobot lampu merah, menelikung, dan sejenisnya.
Pernah lihat anak-anak di bawah umur yang ngebut di jalanan padat, bukan? Ya, bisa jadi itulah cermin generasi kini dan semoga tidak nantinya. Saat macet, tidak sedikit yang potong kompas menggunakan trotoaar.
Yang menyedihkan adalah menyaksikan jalanan tersendat karena anak-anak SMP baru keluar dari sekolah dengan serentak, memenuhi sebagian badan jalan, menyebrang dengan santainya. Mereka hanya dididik disiplin di ruang kelas, di lingkungan sekolah. Keluar dari gerbang sekolah, meski hanya hitungan meter, tak ada pendidikan tertib berlalu lintas, peduli dengan hak orang lain. Pendidiikan dengan lalu lintas seolah tak sinkron.
Soal peduli, ini lebih memperihatinkan. Saya sering observasi dan eksperimen sosial kecil-kecilan. Mengamati pengendara yang kepayahan menuntun motornya karena kehabisan bensin, ban bocor, atau mogok. Dari 100 an pengendara yang melintas, nyaris tak ada yang berinisiatif berhenti dan menawarkan bantuan. Beruntung, masih ada beberapa yang melirik, meski tetap melajukan kendaraannya. Mudah-mudahan, meski takk sempat berhenti, lirikan itu menjadi wujud kepedulian, meski dalam level paling lemah mungkin.
Observasi itu bisa diperdalam dengan satu treatmen. Saya berhenti, menanyakan masalah, dan mencoba membantu. Misal dengan mencarikan bensin. Tahukah, bagaimana respon pengendara yang kita bantu? Percayalah, itu teramat membahagiakan. ***